Translate

Kamis, 23 Juli 2015

Tenun Sutra Sengkang, Tenun Tradisional Bugis


Salah Satu Motif Lipa Sabbe

Ketika kita memasuki Kota Sengkang sebagai ibukota Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan, terlihat sebuah gapura (pintu gerbang) besar yang bertuliskan ―Selamat Datang di Sengkang Kota Sutera
Kalimat ini seolaholah dengan sadar dibuat sebagai informasi bahwa kota Sengkang sebagai merepresentasikan dirinya sebagai wilayah penghasil sarung sutra. Identitas ini memang ada benarnya karena sejak dahulu, sarung sutera Sengkang sudah terkenal sebagai sentra produksi sutra di nusantara, khususnya di Sulawesi Selatan. Namun,benarkah Sengkang kota sutera?

Pertanyaan di atas bisa ―ya, dan bisa juga ―tidak.Sebenarnya identitas Sengkang sebagai kota sutera sangat ironis. Hal ini dikarenakan ketika kita membicarakan tenun, hampir semua daerah di Sulawesi Selatan memiliki pengetahuan menenun.Bahkan, Pelras (1996) menuliskan bahwa keterampilan bertenun pada masyarakat Bugis sebagai sumber pendapatan keluarga sudah lama dikenal sejak dahulu. 
Bahkan sekitar tahun 1785, Forrest menulis: ―Penduduk Sulawesi sangat terampil menenun kain, umumnya kain kapas bergaya kambai3yang mereka ekspor ke seluruh Nusantara. Kain-kain itu bermotif kotak-kotak merah bercampur biru.Mereka juga membuat sarung sutera (Bugis: tali bennang) indah, tempat menyelipkan badik.Saat ini, produk sarung sutera kotak-kotak, kain tenun yang dihasilkan lebih bervariasi. Bahkan identitas Sengkang sebagai kota sutera merupakan kreatifitas budaya hasil kebudayaan globalisasi. 
Bahan pembuatan berupa benang berasal dari Cina yang diperoleh melalui Singapura, kemudian diproduksi secara tradisional oleh orang Sengkang, dan dijual kembali ke Hongkong.Fenomena ini merupakan ―identitas global yang yang melibatkan multi-kebudayaan terwujud dalam bentuk kain sutera.

Aktifitas menenun kain sutera di Sengkang, pada awalnya hanyalah sebuah jenis kerajinan (craft) 4 yang memproduksi ‗sarung sutera‘ dengan menggunakan alat gedogan atau biasa diistilahkan dengan ‗tenun duduk‘ (dalam bahasa lokal: tennungwalida). Menenun dengan gedogan dilakukan dengan posisi duduk dengan meluruskan kedua kaki ke depan, atau biasa juga dengan melipat salah satu kaki. 

Berbeda dengan menenun dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dilakukan dengan posisi duduk, dengan cara menginjak sepasang pedal kayu yang terdapat di bagian bawah ATBM secara silih berganti dengan kaki kiri dan kanan.Keberadaan sarung sutera tersebut, pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan busana tradisi lokal, baik ritual maupun kehidupan keseharian masyarakat Sulawesi Selatan, dimana dahulu hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan setempat dan sebagai busana adat dalam konteks ritual tradisi setempat (Mattulada, 1995). 




Dalam berbagai catatan, orang Sengkang (Bugis Wajo) dikenal sebagai penguasaha/pedagang Bugis yang melakukan ekspansi perdagangan kemana-mana. Bahkan dalam beberapa mitos tentang kelompok masyarakat Bugis Bone, Soppeng, dan Wajo (Bosowa), Bone selalu dianalogikan dengan keberanian sehingga banyak melahirkan pemimpin, Soppeng selalu dianalogikan dengan kaum intelektual, dan Wajo selalu dianalogikan sebagai kelompok Bugis yang suka berniaga sebagai penggerak kapitalisme. Salah satu penggerak yang terbesar dan terkenal dalam usaha/dagang Bugis wajo adalah kain sutera. 

Mengapa Sengkang sebagai Kota Sutera?. Sengkang merupakan sentra pengembangan tenun sutera yang dilakukan secara massif.Walaupun pengetahuan menenun menurut Pelras (1996) beranggapan bahwa orang Bugis memperoleh keterampilan menenun sutera dari orang Melayu, mengingat miripnya istilah penggulung kain (passa), dengan Bahasa Melayu pesa (bandingkan dengan misalnya istilah Jawa apit untuk benda yang sama).
Kemudian perangkat tenun model kedua mungkin diadopsi dari orang Melayu yang menetap di Bandar-bandar perdagangan pesisir barat Sulawesi Selatan pada abad ke-15. Sebenarnya pengetahuan hampir seluruh dimiliki oleh wilayah pesisir di Sulawesi karena pengaruh kebudayaan Melayu.
Hanya saja yang membedakan masyarakat di Wajo lebih banyak dan serius melakukan kegiatan menenun kain sutera.Kentalnya struktur antar lapis sosial dalam struktur masyarakat Wajo, menciptakan ketimpangan akses terhadap sumberdaya alam dan ekonomi sehingga masyarakat lapis bawah berada dalam kondisi kemiskinan dan harus menjadi klen/hamba bagi kelompok bangsawan.
Dengan keterbatasan ekonomi, maka banyak kalangan ibu-ibu harus bekerja sebagai penenun sarung sutera untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.Kebiasaan ini, kemudian menjadi citra bagi Sengkang sebagai sentra pengembangan tenun sutera. Pada periode tertentu dalam sejarah Bugis dengan kemunculan stratifikasi sosial yang digambarkan melalui epos Lagaligo yang menceritakan tentang mitos nenek moyang orang Bugis yang pada akhirnya membedakan dua jenis manusia. Pertama , mereka yang ―berdarah putih yang keturunan dewata dan kedua adalah jenis manusia yang ―berdarah  merah yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak (Pelras, 1996:196). 

Ditekankan dalam sejarah struktur masyarakat Bugis pada masa lampau bahwa stratifikasi sosial tersebut mutlak dan tidak boleh tercampur.Namun seiring dengan dinamika masyarakat Bugis di Wajo khususnya, hari ini kepercayaan tersebut sudah semakin longgar dan bahkan sudah tidak ditemukan lagi. Justru dalam bergulirnya kebudayaan Bugis yang pada umumnya yang meninggalkan bentuk stratifikasi sosial berdasarkan tiga tingkatan bangsawan (arung), to maradeka (orang bebas), ata’ (hamba) memunculkan satu bentuk status yang bersifat ascribe (pangkat, jabatan, gelar akademik), Maupun penguasaan sumberdaya ekonomi yang disimbolkan dengan gelar ‗Haji‘. 

Kecenderungan tersebut diyakini dalam masyarakat Wajo mampu mengangkat derajat dan seseorang dalam stratifikasi masyarakat.Kaum bangsawan dan kaum yang memiliki ekonomi yang mapan sebagai salah satu pucuk dari stratifikasi sosial masyarakat Wajo menampilkan identitasnya melalui beberapa simbol-simbol yang salah satunya adalah dengan sutera (meskipun belum ada penelitian yang yang mendalam, namun ditengarai beberapa motif dari sarung sutera beberapa menyimbolkan kebangsawanan dan kapital ekonomi seseorang).

Peralatan tenun yang digunakan paling awal yakni alat tenun bertumpuan belakang dengan benang lungsing bersambung berkeliling. Perlengkapannya antara lain dua batang palang penopang lunsingan dimana dibelitkan benang lungsing (sau). Salah satu penopang lungsing (penopang belakang: tandayang) ditumpukkan pada tiang dan agak dtinggikan. Palang penopang lungsing lainnya (penopang depan: api’) diikatkan kedua ujungnya pada kedua ujung sandaran punggung: talikusan, pembokoran (dari taliku, boko: punggung). Penenun duduk diantara palang penopang lungsing dan sandaran punggung dan menggunakan punggungnya untuk menahan agar benang lungsin senantiasa terentang kencang.
Perlengkapan lainnya adalah palang pemisah segi tiga (kabe atau kaberen) yang berfungsi sebagai pemisah leret benang lungsin berbilangan genap dengan leret benang tersebut.
Adapun karap (kala) memiliki banyak pesosok yang dilalui semua benang lungsin berbilangan ganjil, sehingga memungkinkan untuk menarik ke atas benang-benang itu; sedangkan kalau kerap itu tidak lagi ditarik ke atas benang ganjil itu kembali ke bawah dan membentuk segi tiga terbalik. Kemudian ada pedang (balida), semacam belebas yang digunakan memperlebar segitiga dan memudahkan masuknya pakan, kemudian untuk ―menebas dan merapatkan benang pakan yang disisipkan ke dalam segi tiga. Sedangkan palang penopang lungsin yang ada di dekat perut penenun, api, merupakan poros yang akan dikitari kain yang telah ditenun.

Dengan adanya sarung sutera menjadikan Kota Sengkang menjadikan akrab bagi semua orang terhadap kelembutan dan kehalusan tenunan sarung suteranya yangdalam Bahasa Bugis disebut dengan "sabbe". 
Proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedogan dengan berbagai macam motif yang diproduksi seperti motif "Balo Tettong" (bergaris atau tegak), motif "makkalu" (melingkar), motif "mallobang" (berkotak kosong), motif "Balo Renni" (berkotak kecil). 

Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan "Wennang Sau" (lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas. Industri pertenunan sutera merupakan kegiatan yang paling banyak di geluti oleh pelaku usaha sutera di Sengkang.Kegiatan ini dilakukan dengan menghasilkan produksi yang memiliki manfaat dan nilai estetika bagi kreatifitas budaya masyarakat Bugis Wajo. Perpaduan nilai tersebut menghasilkan kerakteristik yang tersendiri yang mencirikan produk kain sutera khususnya sarung khas Sengkang (lipa sabbe Sengkang: Sarung Sutera Sengkang). 

Dalam perkembangannya pengrajin pertenunan Sutera tidak hanya menghasilkan kain sarung tetapi sudah mampu memproduksi produk kain lain seperti kain motif tekstur dalam bentuk kain puth dan warna, maupun kain yang di tenun dengan memadukan benang Sutera dengan bahan serat lainnya sehingga memberikan banyak pilihan bagi para peminat produk sutera.

Masalah yang dihadapi dalam produksi, untuk mendukung produksi sarung sutera, suplay produksi benang sudah mengalami beberapa masalah khususnya mesin pengolah kepompong sutra menjadi benang.Mesin produksi yang dimiliki sudah tua dan aus. Di sisi lain, para petani tidak setiap saat mengembangbiakan ulat. 
Mereka justru lebih memilih menanam jagung karena harga yang diperoleh jauh lebih tinggi disbanding mengembangbiakan ulat sutra. Dalam hal produksi sarung, saat ini hanya dikelola oleh industri rumah tangga.
Hingga saat ini, belum ada industri besar yang berani untuk berinvestasi mengelola sarung sutera.Pengelolaan hanya dilakukan dalam skala keluarga dengan tenaga kerja sampai 8 orang yang dilakukan oleh ibu rumah tangga dan anak perempuan di bawah kolong rumah.Kegiatan hanya dilakukan secara subsisten pada saat waktu senggan dan dikelola secara tradisional. 

Dari sisi pemasaran, produksi sarung sutera Sengkang sangat tergantung dari permintaan pabrik-pabrik di Pekalongan.Pabrik tekstik ini sangat menentukan dan mengontrol banyaknya produksi dan harga di pasaran.Hal ini disebabkan karena pesatnya industri serta penguasaan segala aspek berkenaan dengan sutera. Pada umumnya, kain (tekstil) yang dikenal dan beredar di pasaran serta dikonsumsi oleh masyarakat adalah kain yang diproduksi oleh industri tekstil yang menggunakan mesin teknologi modern dan padat modal. 
Namun disamping kain yang diproduksi dengan teknologi modern dan padat modal itu, ada pula kain yang diproduksi dengan menggunakan teknologi tepat guna dan padat karya, yang dalam proses produksinya sebagian besar dikerjakan dengan tenaga manusia secara manual dimana para pekerjanya itu memiliki keahlian teknis khusus yang biasanya diperoleh secara informal. 

Berdasarkan penggunaan teknologi tenun, pertenunan kain (tekstil) di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: bertenun dengan menggunakan mesin, bertenun dengan menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), dan bertenunan dengan gedogan atau biasa diistilahkan dengan tenun duduk. Bertenun dengan menggunakan gedongan dilakukan dengan posisi duduk dengan meluruskan kedua kaki ke depan, atau biasa juga dengan melipat salahsatu kaki. 
Adapun bertenun dengan menggunakan ATBM dilakukan dengan posisi duduk, dengan cara menginjak sepasang pedal kayu yang terdapat di bagian bawah ATBM secara silih berganti dengan kaki kiri dan kanan. Beberapa daerah di Indonesia yang juga menghasilkan kain tenun, masyarakat lokal juga menggunakan alat gedogan dan atau ATBM dalam memproduksi kain tenun, antara lain di Pekalongan, Cirebon, Banyumas, Klaten, Lombok, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan (Soeroto, 1983). 

Produk kain tenun dari masing-masing daerah tersebut dapat dibedakan dari selain motif dan corak yang diterapkan pada kain tenunannya, juga bahan baku yang digunakan dalam proses produksinya. Bahan baku tersebut biasanya merupakan benang kapas yang menghasilkan kain tenun katun, dan benang sutera yang menghasilkan kain tenun sutera. Kedua bahan baku itu (benang kapas dan sutera) masih tetap digunakan dalam kegiatan pertenunan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. 
Pemanfaatan kain sutera sebagai bahan dasar dalam proses pembatikan memungkinkan para perajin tenun sutera tradisional – produknya biasanya lebih dikenal dengan sebutan kain sutera ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin)— mengambil peran dalam percaturan pasar pengadaan bahan dasar batik tersebut, meskipun tidak semuanya batik sutera berbahan dasar kain sutera yang ditenun manual (tradisional), karena ada juga batik sutera berbahan kain sutera pabrikan dari Cina. 

Berdasarkan penelusuran pada kedua jenis batik sutera tersebut di beberapa retailer, terdapat perbedaan harga yang cukup menyolok antara batik berbahan dasar kain sutera (pabrikan) produk Cina dengan kain tenun sutera ATBM, seperti contohnya di Pasar Tanah Abang Jakarta dan beberapa toko retailer. 
Batik berbahan dasar kain sutera ATBM ditawarkan dengan tingkatan harga jual yang berbeda-beda, tergantung dari kualitas kain suteranya, baik bagi batik tulis maupun batik cap. Di Pasar Tanah Abang Jakarta dan beberapa toko retailer batik, batik sutera berbahan dasar kain tenun sutera ATBM yang berasal dari Kabupaten Wajo, oleh para sales (penjual) disebut sebagai kain tenun sutera dari Makassar. 

Penggunaan istilah bagi kain tenun sutera ATBM dari Sengkang sebagai ‗kain tenun sutera Makassar‘5, dapat dimaknai bahwa identitas kain tenun sutera Sengkang masih diakui keberadaannya, ‗layak jual‘, dan dapat ditelusuri keberadaannya sampai pada tingkat dimana kain tersebut telah berubah wujud tampilan menjadi batik sutera. Meskipun tidak semua kain tenun sutera ATBM yang digunakan sebagai bahan dasar dalam proses pembuatan batik sutera merupakan produk para perajin tenun di Sengkang, karena beberapa sentra industri pertenunan di berbagai daerah di Indonesia juga memproduksi kain tenun sutera ATBM yaitu antara lain di Pekalongan, Cirebon, dan Sumatera Selatan. Namun kontribusi kain tenun sutera ATBM dari Kabupaten Wajo dalam hal pengadaan bahan baku untuk industri batik di beberapa kota di Jawa, jumlahnya cukup signifikan. 

Pada tahun 2008 terdapat 8.500 unit ATBM, yang tersebar di beberapa kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Wajo. Untuk menghasilkan hasil kain tenun yang baik dengan kerapatan tenunan yang relatif rata sepanjang kain yang dihasilkan kemampuan ratarata seorang perajin tenun adalah antara 2-3 meter setiap hari dengan menggunakan ATBM, bahkan banyak diantara para perajin tenun telah mampu menenun kain sampai dengan 5 meter/hari. Bahkansekitar 70 % produk kain tenun sutera ATBM dari Sengkang diperuntukkan sebagai bahan dasar dalam proses pembatikan dengan konsumen tujuan utama adalah industri-industri batik di Jawa, sedang selebihnya dipasarkan secara lokal di Sengkang dan Makassar dalam wujud berupa kain tenun sutera berwarna.

repository.unhas.ac.id

0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953