Translate

Sabtu, 09 Juli 2016

Batik Tulis Trenggalek Hilang Tinggal Nama, Digerus Batik Pabrikan atau Printing/Textile Motif Batik

Batik Tulis Trenggalek


Pada era 70-an hingga 80-an, Trenggalek, salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Timur, dikenal dengan kerajinan batik tulisnya. Bahkan ada nyanyiannya yang cukup popular yaitu nyanyian Kutha Trenggalek, '... kalokeng rat produksi batik Tenggalek, tempene alen-alen tekan manca praja…' , itu merupakan sepenggal bait nyanyian yang menyiratkan bahwa batik Trenggalek cukup terkenal sampai ke daerah lain. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal batiknya daripada kota Trenggaleknya. 


Wilayah yang menjadi sentra utama kerajinan batik adalah Kelurahan Sumbergedong dan Surondakan Kecamatan Kota Trenggalek. Di kedua Kelurahan ini, dulu setidaknya sampai tahun 80-81 an ada ratusan Perajin batik tulis. Bahkan, karena telah menjadi pusatnya batik di Trenggalek, jalan-jalan atau gang banyak yang dinamai dengan nama motif batik seperti gang sidomokti, gang parang kawung, gang gringsing, dan lain lain.

Ada beberapa nama yang menjadi Perajin batik tulis yang cukup besar antara lain Suparni, Sukono, dan Nyoto. Di era 80-an produksi mereka masing-masing sekitar 300 lembar batik per 5 hari.

Dengan mempekerjakan 6 Orang karyawan saat itu, Suparni masih kewalahan melayani permintaan. “Saat itu karyawan saya 6 orang, belum lagi saya sendiri, istri saya serta anak saya yang sudah bisa mengerjakan, juga ikut membantu mengerjakan batik,” kenang Suparni.

Kini sentra batik tersebut tinggal nama saja sejak terjadinya krisis ekonomi Tahun 1998. Seluruh Perajin batik yang ada gulung tikar. Yang tersisa hanyalah nama-nama gang yang menunjukkan bahwa di daerah ini dulunya merupakan pusatnya Perajin batik.

Pekerjaan masyarakat kampung ini rata–rata dulunya adalah Perajin batik dan telah beralih usaha, ada yang buka toko atau memelihara ayam, ada yang bercocok tanam dan lebih banyak lagi yang menjadi pekerja serabutan.

Memang ada 1-2 orang yang masih menekuni batik meskipun hanya dijadikan kerja sampingan saja. Namun secara umum batik di kampung ini tinggal nama saja, kalau dari segi produksinya memang sudah bisa dikatakan mati. Baca juga: Ulos Batak Terancam Punah


Beralih ke Tukang Cuci


Salah seorang mantan Perajin batik yang cukup terkenal adalah Suparni (68), warga RT 01 RW 01 Kelurahan Sumbergedong Kecamatan Trenggalek. Saat berkunjung dikediamannya, pagi itu Suparni sedang melayani Pelanggan yang memerlukan jasanya untuk menggiling tepung (selep tepung) sedangkan istrinya Sunarmi (62) tampak sedang memasak, sambil menjaga tokonya. Di samping itu ia masih menerima jasa loundry atau pencucian pakaian.

Saat menceritakan tentang riwayat batik, Suparni tampak masih bersemangat, apalagi istrinya. ’’Sebetulnya saya sudah menjalani usaha batik sejak tahun 1964 dan kebanyakan di lingkungan sini hampir setiap rumah membatik. Bahkan, sungai depan rumah ini dikenal dengan sungai batik karena siang malam tidak pernah sepi dari aktivitas masyarakat yang mencuci hasil garapan,’’ tuturnya.

’’Saat itu saya sendiri dengan 6 orang karyawan sering kewalahan melayani permintaan Pedagang langganan saya, memang setiap 5 hari sekali paling tidak 300 lembar habis terjual dan tidak perlu memasarkan ke pasar karena Pembelinya datang sendiri,’’ lanjut Sunarmi.

Masih menurut penuturan Sunarmi dari usaha batiknya itu ia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, untuk biaya sekolah 6 orang anaknya, bahkan masih menyisakan sebagian untuk ditabung. Namun, ketika terjadi krisis ekonomi yaitu sekitar tahun ’98 semua Pengusaha batik gulung tikar.

’’Matinya usaha batik di sini ya saat ada krisis itu, Pembeli tidak ada, bahan-bahan untuk produksi mahal semua, bahkan seperti bahan pewarna (sogo) hilang dari pasaran. Bila pun ada, harganya sudah tidak nyucuk (tidak menguntungkan) lagi. Mau gimana lagi kalau dipertahankan yang jelas ngentekne barang sing wis enek (menghabiskan apa-apa yang sudah tidak ada -Red)’’ ujar Suparni.

Sejak saat itu untuk memperoleh penghasilan sehari-hari para Perajin batik banyak yang beralih profesi, seperti Suparni sendiri karena usianya sudah cukup tua biarpun memiliki beberapa bidang sawah, namun tidak dikerjakan sendiri. Sawah pembelian dari hasil membatik saat masih jaya-jayanya itu dikerjakan oleh orang lain dengan cara bagi hasil.

Sedangkan ia sendiri aktivitasnya hanya sebatas membantu istrinya menunggui penggilingan tepung serta pracangannya, disamping itu sedikit-sedikit dari jasa loundry-nya setiap hari selalu ada.

’’Sejak berhenti mbatik ya ini mas kegiatan saya, buka pracangan dan selep tepung sedang jasa cuci ini baru setahun berjalan. Ya biarpun sedikit yang penting ada pemasukan dan daripada nganggur. Untung, anak-anak saya sudah punya usaha sendiri biar pun kecil-kecilan, ada yang usaha servis elektronik, ada yang usaha rental komputer,’’ tutur Suparni.

’’Sebetulnya saat ini batik mulai laku lagi tapi rasanya sudah males mas … wis tuwek (sudah tua, Red), apa lagi anak-anak tidak ada yang berminat,’’ tutur Sunarmi istri Suparni.

’’Sekarang sebenarnya masih ada yang mbatik, setahu saya di Surondakan masih ada satu, yaitu di sebelah barat Terminal Bus dan di Sumbergedong ada yang besar satu dan beberapa orang sebagai buruh saja,’’ lanjutnya.


Bertahan sampai sekarang

Kediaman Nyoto (50) sekitar 50 meter masuk gang sempit ke arah barat dari terminal bus Trenggalek. Saat tiba dikediamannya tampak Suwarti istri Nyoto sedang istrirahat setelah selesai mencuci batiknya. Tampak sekitar 10 lembar kain batik pada jemuran di gang sempit jalan masuk ke rumah Nyoto, kelihatannya baru saja dijemur karena masih terlihat basah dan masih ada tetesan airnya.

Sambil duduk istirahat di teras rumahnya inilah ngobrol tentang usaha yang digelutinya. Menurut penuturannya ia sudah sejak Tahun 1980 menggeluti usaha batik ini. Usahanya sempat mengalami masa keemasan namun sejak terjadinya gejolak ekonomi yang tidak menentu perlahan-lahan usaha yang ditekuni mengalami surut sampai sekarang.

Walaupun demikian, sang istri, Suwarti (48) sampai saat ini masih setia menekuni pekerjaan mbatik.

’’Mau kerja apa lagi, lha wong ketrampilan saya ya hanya mbatik, biarpun sangat jauh hasilnya bila dibanding saat masih ramai (tahun 80-an–Red) tapi sedikit-sedikit masih ada pemasukan,’’ ujarnya.

’’Paling banter dalam seminggu saya bisa menyelesaikan 10 – 12 lembar. Itu pun saya kerjakan sendiri. Sedangkan pemasarannya ya memang lambat tapi ya tetap ada saja yang beli,’’ lanjutnya.

Menurut penuturan Suwarti, motif yang dikerjakan hanya beberapa motif saja yaitu sidomukti, gringsing, semenrama. Padahal, dulu ia bisa mengerjakan hampir 20 jenis motif batik.

Harga jual batik yang dihasilkan Suwarti ini yang biasa Rp 200.000 sedangkan yang bagus (alusan) mulai dari bahan dan pengerjaannya Rp 300.000 per lembar. Dari harga itu ia hanya memperoleh tak seberapa per lembar. Itu pun kalau lakunya cepat.

Kendala utama usaha batik ini menurutnya adalah bahan baku yang sekarang mahal dan semakin banyaknya batik keluaran pabrik. Baca juga: Cara Membedakan Antara Batik Tulis, Batik Cap dan Batik Cetak (Printing Motif Batik)

’’Saat ini kan sudah jarang orang yang sehari-hari menggunakan sewek (jarit), semua beralih ke pakaian modern, jadi ramainya pembeli hanya saat menjelang Hari Raya dan Agustusan saja,’’ tutur Suwarti.

Dilihat dari keluhan tersebut memang pemerintah sebaiknya segera membuat satu kebijakan (terutama pemerintah daerah) yang bisa membangkitkan kembali batik yang sempat menjadi ikon kota Trenggalek. 

sumber : pur-jatengonline
0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953