Translate

Rabu, 17 Agustus 2016

Mengenal Lebih Dalam Tenun Endek dari Bali

I Nyoman Sudira menunjukkan benang yang telah diberi warna dalam pembuatan kain Tenun Endek di tempat Pertenunan Astiti, Banjar Jero Kapal, Desa Gelgel, Klungkung, Bali. (TEMPO | Bintari Rahmanita)


Jemari Ketut Suryani lincah memintal benang pada alat tenun nya. Bersama beberapa perempuan di Balai Pertenunan Astiti di Banjar Jero Kapal, Desa Gelgel, Klungkung, Bali, Suryani mengusir sepi dengan bersenda-gurau berpadu suara alat tenun. Mereka meneruskan warisan leluhur mereka dengan membuat tenun endek dan songket.

Suryani berkenalan dengan alat tenun sejak ia remaja. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, mulai pukul 09.00, dia pun menggeluti alat tenun. Dia baru beranjak dari tempat menenun pukul  17.00. Dalam satu hari, bisa dihasilkan selembar kain katun endek berukuran 2,25 meter, jenis kain yang menjadi ciri khas kabupaten tempat kerajaan-kerajaan Bali di masa lalu itu.

Terkenal dengan Kerajaan Gelgel, Klungkung tak hanya menyisakan bangunan Istana  bersejarah, tapi juga kerajinan tenun. Tenun mulai dikenal pada abad ke-18. Semula kain tenun ini hanya dikenakan kaum bangsawan atau untuk upacara di Pura, namun kini, kain tenun ini dikenakan sehari-hari bahkan seragam berbagai Instansi.

Sejumlah desa di Klungkung dikenal menjadi pusat tenun. Desa Sulang sama dengan Gelgel. Di Gelgel, tempat tenun endek dan songket mudah ditemui. Di Jalan Raya Gelgel saja, ada Dian’s Rumah Songket dan Endek, selain Pertenunan Astiti. Memang tidak di jalan utama, tapi keduanya memasang papan nama cukup besar sehingga mudah dibaca turis atau konsumen.

Para penenun umumnya berusia 30-40 tahun. Namun ada pula ibu berusia 75 tahun yang masih rutin menenun. Wayan Rasaini, namanya. Berkutat dengan alat tenun tradisional, cagcag. Alat ini membuatnya harus duduk di lantai seperti terkungkung. Ibu-ibu lain menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Mereka membikin endek.

Kain songket, seperti pada umumnya, diselipi benang-benang emas sehingga terkesan mewah saat digunakan untuk acara atau upacara khusus. Kain endek ini juga digunakan untuk upacara di Pura, selain dikanakan untuk busana sehari-hari. Para penenun mulai bekerja memintal benang atau ngulak sesuai dengan corak yang telah disiapkan.

“Yang membuat pola adalah anak-anak sekolah,” ujar Ketut Suryani. “Mereka biasanya ke sini setelah pulang sekolah,” ujarnya. Walhasil, para penenun pun tinggal berkarya mengikuti pola ikatan benang. Anak-anak sekolah yang dimaksud ialah Pelajar Sekolah Menengah Jurusan Desain yang rutin datang mengikat benang mengikuti pola motif yang dibuat pemilik pertenunan, Drs I Nyoman Sudira, MM.

Pensiunan pegawai sekretariat DPRD Klungkung ini sebenarnya baru terjun membantu istrinya setelah memasuki masa pensiun. Dia mulai mewarnai sendiri, baik dengan pewarna alam maupun sintetis. Sebelumnya, urusan tersebut diserahkan kepada orang lain. Tak hanya itu, pria sepuh ini juga memanfaatkan teknologi untuk membuat pola dan memindahkan ke gulungan benang lebih mudah dan singkat. Hasilnya tak hanya dijual di balai kerja, tapi juga di 2 gerai di Pasar Seni Semarapura, Klungkung, dan di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar. Harga kain endek berukuran 2,25 meter dijual dengan harga mulai dari Rp 200 ribu.

Penasaran dengan Desa Sulang, yang juga dikenal dengan kampong penenun. Di Banjar Kawan, Kecamatan Klungkung, ada gerai Endek Gurita milik Kadek Antari, MPd, yang dibuka 4 tahun lalu. Seorang penenun di sana, I Dewa Ayu Nyoman Arti, 50 tahun, mengatakan sudah 34 tahun menggeluti bidang ini. Di gerai itu, dia menenun berdua dengan temannya. “Tapi di sekitar sini, ada 50 orang yang nenun di rumah sendiri-sendiri,” ujarnya.

Nyoman Arti mengatakan membuat kreasi sendiri, kecuali ada pesanan. Ia lebih banyak membuat motif polos, kadang corak kotak-kotak yang sekarang banyak permintaan. Harga dipatok tergantung jenis benang. Katun endek berbahan benang katun dengan pewarna alam dijual mulai Rp 600 ribu. Namun kain dengan pewarna sintetis mulai Rp 250 ribu. Kalau bahannya benang sutera, harganya bisa dua kali lipat.

sumber : Tempo
0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953