Translate

Kamis, 11 Agustus 2016

Tenun Flores Butuh Modal

foto . traveldetik


Usaha tenun ikat di Flores, Nusa Tenggara Timur, masih terkendala minimnya dukungan permodalan. Hasil penjualan kain tenun yang tidak sebanding dengan tingginya kebutuhan hidup sehari-hari menyebabkan banyak perajin kerap kehabisan modal.

Di sentra tenun Desa Nggorea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, para perajin kerap sulit berproduksi karena modalnya habis. Tenun ikat yang membutuhkan proses produksi selama tiga hingga empat pekan dijual dengan harga Rp 500.000 per lembar. Setelah dikurangi dengan biaya produksi sekitar Rp 200.000 untuk bahan baku benang dan bahan pewarna, perajin hanya memperoleh hasil bersih Rp 300.000 per bulan.

Hasil yang minim tersebut sering kali langsung digunakan untuk membiayai pendidikan anak. Perajin setempat, Daima, mengatakan, seluruh hasil penjualan kain langsung dipakai untuk membeli kebutuhan keluarga, termasuk untuk membiayai pendidikan 2 anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. "Akibatnya, untuk beli benang, uangnya telanjur habis," kata Daima, Minggu (7/8/2016).

Koperasi di Desa, lanjutnya, tidak berperan optimal dalam memperkuat permodalan bagi para penenun. Maka, untuk tetap bertahan, mereka kerap mendatangi Pegadaian. "Perhiasan terpaksa digadaikan agar bisa terus menenun," ungkapnya.

Pemilik sanggar usaha tenun ikat Lepo Lorun di Kabupaten Sikka, Alfonsa Horeng, menambahkan, masalah minimnya permodalan menjadi penghambat usaha produksi tenun ikat Flores. Banyak perajin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menghubunginya untuk minta dikirimi benang. "Kalau tidak kami kirim, praktis mereka tak bisa menenun," ujarnya.


Generasi muda

Agnes Paulina (37), penenun yang bergabung di Sanggar Lopu Laran, menuturkan, anak-anak dari keluarga penenun sejak kecil mulai dilibatkan dalam proses produksi. Ia sendiri mulai membantu ibunya menenun sejak masih di Sekolah Dasar.

Tahap awal latihan adalah memintal benang dan mengikat motif. Setelah usia di atas 15 tahun, barulah mereka menggunakan alat tenun. Pada tahap ini, perajin muda akan menghadapi proses panjang menenun, duduk berjam-jam di lantai dengan kaki lurus ke depan sambil memangku alat tenun yang beratnya sekitar 2 kilogram.

"Untuk membuat tenun ikat diperlukan kesabaran, fokus, dan ketenangan batin sehingga hasilnya memuaskan. Ini bukan soal bisnis semata, melainkan nilai diri dari penenun itu sendiri. Menenun harus dilakukan dengan hati karena hasilnya dipakai manusia," papar Agnes.

Kemampuan membuat tenun ikat kini ia tularkan kepada putrinya, Maria Alfiani (8). Setelah pulang sekolah, Maria biasa diajak ke sanggar. Maria sudah bisa memintal benang dan kini belajar mengikat motif. Banyak Anak Sekolah dan Mahasiswa dari keluarga penenun bisa membayar sendiri biaya pendidikan dari uang hasil menenun. Mereka menenun saat libur. 

sumber : kompascom
0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953