Translate

Kamis, 15 Desember 2016

Tenun Ende Terancam Punah

Kemeja Tenun NTT kombinasi Tenun Katun Polos by Aman Lase Collection


Kain tenun Ende sudah dikenal luas sejak lama. Ini merupakan warisan budaya Indonesia. Setiap kain tenun bermakna bagi masyarakat Ende. Setiap tenun bisa hidupkan sandang pangan keluarga dan membantu suami untuk pendidikan anak.


Hal itulah yang diungkapkan oleh Pemerhati Sosial Ekonomi untuk kain Tenun, Bernadetha Maria Sere Ngura Aba yang akrab disapa Sere. Ia menjelaskan kain tenun Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan warisan tradisi. Kain tenun Ende memiliki ciri khas tersendiri. Kain Ende berwarna coklat gelap. Motifnya kecil dan ada salur hitamnya di kain dari motif dan ragam hias. Motif disebut kepala kain dan ragam hias disebut kaki kain. 

"Saat ini tenun Ende kehilangan momentum untuk berkembang, kain tenun ini kerap dianggap hanya menjadi komoditas saja, padahal makna di balik kain tenun Ende sangatlah beragam yang seharusnya menjadi khazanah dan kekayaan kebudayaan nasional yang multikultur. Hilangnya kesadaran, orientasi dan makna terhadap budaya dan tradisi membuat kain tenun Ende kurang diketahui oleh masyarakat Indonesia, terutama generasi mudanya, di tengah gencarnya bermunculan budaya-budaya modern yang adoptif," jelasnya saat pembukaan Pameran Pesona Kain dan Budaya Ende Digelar  di Jakarta, Rabu (14/12).


Koleksi Tenun Ende Aman Lase Collection

Kurangnya kesadaran dan apresiasi masyarakat,  membuat kain tenun ini kehilangan pamor. Hal ini berdampak pada kondisi penghidupan para pengrajin kain tenun Ende. "Saat ini terdapat 50 pengrajin yang dibina oleh Museum Tenun Ikat di Ende, di mana kondisi pengrajin tenun masih memerlukan bantuan dalam hal pemberdayaan, secara teknik tenun, penggunaan bahan-bahan alami dan bahan baku lainnya, serta akses permodalan dan pemasaran," ungkap Pengelola Museum Tenun Ikat di Kabupaten Ende, Ali Abubekar yang juga menjadi Pembina Kelompok Pengrajin Tenun.


Terancam Punah

Sebagai bagian dari warisan budaya, tenun ikat Ende dari Nusa Tenggara Timur (NTT) perlu dijaga keeksistensiannya. Bukan mustahil wastra Nusantara ini akan punah dalam waktu dekat jika masyarakat dan pemerintah tidak saling bahu-membahu melestarikannya. 


Kain tenun Ende memancarkan daya tarik tersendiri. Terlihat dari warnanya yang cenderung gelap dan kecoklatan karena proses pewarnaan alami. Selain itu, setiap motifnya menceritakan adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat setempat.


Kemeja Tenun NTT kombinasi Tenun Katun Polos by Aman Lase Collection


Seperti motif gajah pada kain Zawo Nggaja Soke Mata Mere yang dibuat dengan perpaduan teknik ikat lungsi dan tenun sederhana. "Gajah dipercayai sebagai binatang kesayangan para dewa," kata Ali Abubekar, penggagas sekaligus pengelola Museum Tenun Ikat Ende saat pembukaan pameran 'Pesona Kain & Budaya Ende' di Museum Tekstil, Jakarta Pusat, Rabu (15/12/2016). 

Ada pula kain yang berhiaskan motif-motif mirip huruf kanji. Kain itu, kata Ali, menggambarkan jejak para pendatang dari Indo-China ke Tanah Flores, NTT. Coraknya yang halus namun padat karena terdiri dari motif dan ragam hias menjadi keunikan lain dari tenun ikat Ende.

Terlepas dari keistimewaan tersebut, kain Ende terancam punah karena berbagai kendala. Salah satunya datang dari para perajin sendiri.

Dijelaskan Ali, belakangan banyak desainer yang mulai melirik kain tersebut untuk dipakai sebagai material utama. Namun kain yang tersedia umumnya belum sesuai dengan selera pasar, baik dari segi motif maupun warna. 

Untuk itu, para perajin diharapkan dapat menghasilkan karya yang dapat memenuhi kebutuhan pasar. "Hanya saja, meyakinkan para perajin untuk membuat sesuatu yang baru tidaklah mudah karena masih terpaku pada pakem tradisional," kata Ali.

Hal tersebut seharusnya menjadi momentum kebangkitan kain Ende di tengah popularitas kain batik sekaligus peluang untuk meningkatkan kesejahteraan perajin. Apalagi banyak masyarakat Ende yang menggantungkan hidupnya pada penjualan kain tersebut. 


Tenun Ende kombinasi Katun Tenun Polos by Aman Lase Collection



Sejak beberapa tahun terakhir, Ali pun mulai aktif melakukan pembinaan kepada para perajin. Selama pembinaan, ia mengajarkan cara pemakaian warna sintetis sekaligus mengenalkan corak-corak yang menjadi tren pasar tanpa meninggalkan ciri khas kain Ende sendiri. Saat ini, ada 50 perajin yang dibinanya.

"Biasanya, lama pengerjaan kain dari pewarna buatan dengan motif yang baru lebih singkat sekitar dua minggu," kata Ali. Dengan waktu yang relatif pendek itu, semakin banyak kain yang dihasilkan sehingga memenuhi kuota permintaan pasar. Untuk kain berwarna sintetis umumnya dipatok minimal seharga Rp 500.000 per lembarnya. 

Regenerasi perajin juga menjadi rintangan tersendiri dalam upaya pelestarian tenun Ende. Berdasarkan pengamatan Bernadetha Maria Sere Ngura Aba, pemerhati sosial dan ekonomi tenun Ende, para perajin yang ada sudah berusia lanjut "Generasi muda yang merupakan usia produktif kurang tertarik menjadi perajin. Mereka lebih memilih hijrah ke kota atau negara lain sebagai TKI," kata Sere, sapaan akrabnya. 

Sebagai solusi, besar harapan Sere agar pemerintah segera memasukkan muatan lokal tentang pengenalan tenun ikat Ende ke dalam kurikulum sekolah. Dengan begitu, tumbuh kecintaan dan kebanggaan terhadap kain tersebut sejak kecil.

"Kalau tidak segera dilakukan, kita tinggal tunggu saja sekitar 20-30 tahun ke depan, tenun Ende benar-benar punah," katanya. Sere juga berharap, pemerintah juga harus bertindak tegas dalam menertibkan peredaran kain printing bermotif tenun Ende di NTT yang datang dari luar daerah. 


Upaya pelestarian juga tidak lepas dari dukungan serta apresiasi masyarakat luas. Pameran 'Pesona Kain & Budaya Ende' yang digelar oleh Komunitas Peduli Wastra Indonesia pada 14-20 Desember merupakan upaya untuk memperkenalkan dan mengingatkan masyarakat akan warisan budaya tersebut. Sebanyak 110 kain koleksi Museum Tenun Ikat Ende dipamerkan dalam hajatan tersebut. 


Tenun Ende kombinasi Katun Tenun Polos by Aman Lase Collection



"Kain Ende perlu terus diangkat apalagi dengan adanya Masyarakat Ekonomi Asean yang membuat barang-barang luar bebas masuk ke Indonesia. Kalau tidak mendapat tempat di negerinya sendiri, kain ini akan hilang atau diklaim negera lain," kata Ali. 

Selain pameran, juga digelar pelelangan kain, busana berbahan tenun Ende rancangan desainer Musa Widiatmodjo, serta lukisan. Dana hasil pelelangan akan disumbangkan untuk mendukung program revitalisasi Museum Tenun Ikat Ende dan pemberdayaan perajinnya. 

"Kondisi museum saat ini sangat memprihatinkan. Meski meminjam bangunan milik daerah, biaya pengelolaan tetap dari kantong pribadi dan swasta," ungkap Ali.


Sepenggal Kisah Aminah yang Setia Membuat Tenun Ikat Ende


Aminah (67), seorang ibu yang setia menenun kain ikat Ende ditengah gempuran modern
FOTO : YUNI ARTA SINAMBELA/DOK.NOVA

Indonesia memiliki keanekaragaman dan kekayaan budaya yang luar biasa banyaknya. Sayangnya, masih belum semuanya dikenal baik oleh masyarakatnya sendiri.

Nun di bagian timur Indonesia, salah satu daerah yang memiliki potensi budaya mengagumkan adalah Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Daerah ini terkenal dengan kain tenun ikat Ende yang merupakan warisan tradisi dari leluhur masyarakat Ende.

Karena keindahannya kain tenun ikat Ende banyak disukai orang. Tak hanya masyarakat Indonesia, turis asing pun bahkan amat mengaguminya. Namun, dibalik keindahannya itu ternyata proses pembuatannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Semua dikerjakan secara manual. Nyaris tanpa mesin yang canggih. Tak heran, semakin sulit teknik pengerjaannya maka semakin mahal pula harga selembar kain tenun ikat Ende tersebut. 

Salah satu penenun yang masih melestarikan teknik manual tersebut adalah Aminah, perempuan asli Ende, Nusa Tenggara Timur. Ketika ditemui di Museum Tekstil Jakarta, Aminah menceritakan kisahnya sebagai seorang penenun kain yang telah dijalaninya selama 55 tahun terakhir.

Dan kegigihannya menenun sehelai kain demi kain itulah ia mampu membiayai keluarganya selama ini. Sembari berbincang dengan TabloidNova.com, tangan Aminah tampak begitu telaten memilah helai benang demi benang untuk membuat satu kain tenun ikat Ende bermotif khusus untuk perempuan. 

"Saya sudah 40 tahun lebih tinggal di desa. Sebelumnya saya tinggal lebih jauh lagi di pelosok, dari Ende berjarak 80 kilometer. Saya jadi penenun sejak umur 12 tahun," ujar Aminah saat didatangkan dalam acara 'Menggali Pesona di Balik Kain Tenun Ende dan Menjaga Kelestarian Budaya Melalui Revitalisasi Museum Tenun Ikat', Rabu (14/12) petang.

Warisan budaya ini tentu saja didapat Aminah dan keluarganya secara turun-temurun. "Mama saya dari kecil sudah ajarkan tenun bikin nilam semua kita tahu," kata perempuan berusia 67 tahun ini dengan logat yang kental.

Untuk membuat sehelai kain tenun ikat Ende, Aminah memerlukan waktu sekitar 2-3 bulan lamanya. Hal itu dimulai dari proses membuat benang gulung, pewarnaan hingga menenun. Hanya itulah pekerjaan Aminah sehari-harinya, namun ia bersyukur dari hasil menenunnya itu bisa menghidupi ke-6 anaknya di rumah.

"Suami saya sudah lama meninggal tahun 2001, sudah 15 tahun. Jadi, bisa jual 2-3 kain dalam dua bulan, ya, hanya untuk makan anak-anak saja."

Dikerjakan dengan dedikasi waktu, ketelitian, dan segenap hati, membuat sehelai kain tenun ikat Ende menjadi begitu bermakna bagi mereka yang mengetahui proses pembuatannya.

Lantas berapa Aminah menjual kain tersebut pada mereka yang tertarik membelinya? "Kalau tenun yang biasa saja bisa 500 ribu, tapi kalau yang bagus bisa 1 juta lebih harganya," jelas nenek dari 10 orang cucu ini.

Menurut Aminah, untuk belajar menenun memang perlu waktu yang cukup lama dan harus sangat sabar. "Tidak bisa cepat atau dalam keadaan terpaksa. Setidaknya untuk belajar dasar menenun bisa memakan waktu setahun lebih."


Koleksi Tenun NTT Aman Lase Collection


Namun, yang dirasakan kini, bagi sebagian orang kain tenun ikat Ende kehilangan momentum untuk berkembang. Sebab kain tenun ikat Ende kerap dianggap hanya menjadi komoditas saja.

Padahal makna dibalik kain tenun ikat Ende sangatlah beragam yang seharusnya menjadi khazanah dan kekayaan kebudayaan nasional yang multikultural.

Hilangnya kesadaran, orentasi dan makna terhadap budaya dan tradisi membuat kain tenun ikat Ende kurang dilketahui oleh masyarakat Indonesia, terutama generasi mudanya. Terutama di tengah gencarnya budaya-budaya modern yang adoptif.

Rupanya, di tengah gempuran globalisasi Itulah salah satu faktor yang membuat anak-anak zaman sekarang kurang tertarik membuat tenun ikat Ende yang penuh makna. 

"Anak-anak sekarang kalau pulang sekolah, tidur, dan tidak bisa dipaksa, kalau kita paksa sudah tidak benar. Mereka ada juga pulang sekolah ikut jual makanan dan minuman sama mama, atau jaga punya adik, setrika dan nyuci," ujar Aminah yang menerima semua kondisi tersebut dengan senyuman.

Kurangnya kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kain tenun ikat Ende pun memiliki dampak terhadap kondisi penghidupan para perajin. Saat ini terdapat 50 perajin yang dibina oleh Museum Tenun Ende, dimana kondisi mereka masih memerlukan bantuan dalam hal pemberdayaan.


Koleksi Tenun NTT Aman Lase Collection


Tentu saja, Aminah berharap sebagai salah satu dari mereka, ia mampu mendapatkan kehidupan yang semakin membaik dari kain yang ia tenun selama ini, meski dalam kondisi yang tak lagi sama seperti ketika dirinya mulai menenun di masa remaja dulu.


sumber : detikcom , republika , tabloidnova
0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953