Translate

Sabtu, 30 Mei 2015

Pemerintah Pekalongan Masukan Batik dalam Mata Pelajaran



Sejak ditetapkan UNESCO menjadi warisan budaya tak benda, batik  memang langsung melejit menjadi bahan busana yang mendadak populer. Namun, banyak dipakai dan populer jadi tren saat itu sebenarnya tak cukup untuk membuat batik jadi lestari sepanjang zaman dan warisan anak cucu. 

Percuma saja jika tak ada generasi penerus yang mau belajar bagaimana cara membatik, arti dan makna batik yang sesungguhnya. "Batik itu mahal. Karena batik adalah sebuah proses panjang dari kreativitas orang jadi harus di uri-uri," kata desainer Didi Budiardjo saat konferensi pers fashion shownya di Jakarta Fashion and Food Festival, Kamis (28/5).


Dalam bahasa Jawa, uri-uri yang dimaksud Didi adalah merawat untuk melestarikan.


Dengan tujuan untuk melestarikan batik seutuhnya sekaligus memperkenalkan batik ke generasi muda, Pemerintah Kota Pekalongan memasukkan batik dalam mata pelajaran. "Batik kami masukkan dalam muatan lokal dan juga jurusan sekolah di Pekalongan," ucap Dwi Ariputranto, Sekretaris Daerah saat konferensi pers show Didi Budiardjo di JFFF, Jakarta, Kamis (29/5). 



Ditambahkan Dwi, dalam muatan lokal mata pelajaran di Sekolah Dasar, para murid hanya dikenai biaya Rp 20 ribu. Biaya ini digunakan untuk praktik membatiknya sendiri. 



Bukan sekolah dasar saja, tapi penerapan batik di sekolah-sekolah juga merambah sampai ke sekolah kejuruan. "Di Pekalongan, ada yang namanya jutek, alias jurusan tekstil yang juga belajar soal batik secara keseluruhan," katanya. 



Selain Jurusan Tekstil, Pekalongan juga memiliki Politeknik Batik, Fakultas Batik dan lainnya. 



"Semua ini tidak lepas dari citra Pekalongan sebagai Kota Batik."



Pekalongan memang patut berbangga karena batiknya berbeda dari jenis-jenis batik kota lainnya, Batik Pekalongan memiliki ciri khas batik pesisir yang menyerap banyak pengaruh budaya lain sehingga kaya motif. Batik Pekalongan juga mudah dikenali dari warna-warna batiknya yang berani. "Ini sesuai dengan keribadian masyarakatnya yang multikultur dan egaliter," katanya. 



Namun salah satu keprihatian yang masih muncul dalam benak Didi adalah teknik membatik yang asli. Beberapa waktu lalu, Didi sempat berkunjung ke UKM batik di Pekalongan. Dari situ ia melihat cara membatik asli kini sudah banyak ditinggalkan. Proses membatik seharusnya melalui beberapa tahapan yang panjang namun nyatanya ada beberapa yang punya cara lain untuk melakukannya atau beralih dengan cara yang lebih modern. "Ini yang harus disadari dan disikapi," kata Didi.

(cnnindonesia.com)
0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953