|
Kebaya Encim, Batik Pesisir dan Tokwi Lasem Foto : jejakbocahilang.wordpress.com |
Semenjak batik ditetapkan sebagai salah satu situs warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi oleh UNESCO pada tahun 2009, batik mulai dikenal oleh dunia sebagai bagian dari peradaban Indonesia. Masyarakat Indonesia pun memperingati Hari Batik Nasional yang jatuh tanggal 2 October setiap tahunnya. Rumah-rumah produksi batik tulis yang sempat mati suri di beberapa daerah mulai kembali bergairah.
Bahkan banyak perusahaan kain yang ikut tergiur dan tidak melewatkan kesempatan. Melabeli produksinya dengan tambahan kata “batik”. Nyaris semua kain bermotif produksinya diberi embel-embel itu agar pembeli tertarik untuk membeli dengan tawaran harga yang lebih murah dari batik asli. Sebagai orang awam yang belum terlalu mendalami dunia perbatikan, saya dikagetkan dengan penjabaran yang saya dengar tentang batik dalam tanda kutip.
Berawal dari seorang teman yang mengiming-imingi saya dengan hasil jepretannya di sebuah pameran yang digelar di JEC (Jogja Expo Center), Yogyakarta. Pameran tersebut merupakan rangkaian dari acara Jogja International Batik Biennale 2016 yang diselenggarakan tanggal 12-16 October 2016 lalu. Bagi saya yang tinggal di kota kecil dan tidak pernah mengunjungi pameran kerajinan berskala besar yang sering diadakan di Jakarta Convention Center, pameran batik di JEC bagaikan oase di tengah gurun.
Saya menyempatkan diri melihatnya pada hari terakhir. Ada lebih dari seratus peserta pameran yang mendirikan stan di sana. Didominasi oleh peserta dari D.I.Yogyakarta, tapi peserta dari beberapa kota di Jawa, Kalimantan dan Sumatera juga menawarkan produk kerajinan yang nggak kalah menarik. Produk-produk yang dijual di sana tidak hanya batik saja, melainkan ada stan-stan yang menjual kain Jumputan dari beberapa kota di Jawa. Kerajinan tekstil dengan metode jahit jelujur dan ikat tersebut juga berkembang di Kalimantan dan Palembang dengan nama kain Sasirangan.
Pengrajin dari Kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta pun mengusung kain dengan teknik ikat dan celup, tapi mereka mengunggulkan warna indigo yang diperoleh dari tanaman Tarum atau indigofera. Lalu perwakilan dari Kabupaten Tuban, Jawa Timur mengenalkan kain tenun gedhog yang sudah digores dengan canting dan memakai pewarna alami. Diikuti kerajinan kain bermotif dari puluhan pengrajin yang buka dari pagi sampai malam hari di JEC selama Jogja Biennale 2016 berlangsung.
Selanjutnya saya terpaku dengan stan yang melibatkan museum dan kolektor asal kota-kota sentra batik. Letaknya saling bersebelahan satu sama lain sehingga memudahkan pengunjung memutari semuanya. Lasem diwakili koleksi batik dengan motif Bang Ijon Buketan, Bang Ungon Cocoan Dlimo, dan motif lainnya. Solo dengan salah satu koleksi batik yang dilukis oleh Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro yang motifnya bernama Peksi Hook Latar Galar. Kemudian Pekalongan memamerkan koleksi batik motif lung-lungan, buketan dan jlamprang. Madura dengan batik Pamekasan yang punya warna berani, Cirebon dengan motif Mega Mendung yang didominasi warna merah dan biru, Garut dengan motif Bulu Hayam. Koleksi di stan ini tidak bisa diraba, bahkan dijaga oleh petugas khusus karena mereka koleksi yang sangat berharga milik perorangan. Ehm, harganya mungkin mulai dari jutaan hingga ratusan juta rupiah.
|
Contoh tiruan batik – Print Cabut Warna Foto : jejakbocahilang.wordpress.com
|
Berikutnya ada anjungan-anjungan yang memperkenalkan batik khas keraton dan kadipaten di Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Anjungan Kesultanan Yogyakarta memamerkan Batik Kampuh Semen Raja yang biasa digunakan oleh raja saat upacara kebesaran. Sidamukti Latar Cemeng yang melambangkan harapan hidup mulia, berkecukupan dan bahagia lahir batin di dunia dan akhirat. Ceplok Rider merupakan motif yang dibuat sebagai tanda mangayubagya yang bergambar leider, bintang jasa dari pemerintah Belanda yang disematkan ke Sultan Hamengkubuwono VII. Ceplok Trimino memiliki gambar tiga ekor ikan yang bersatu dimaknai sebagai bersatunya cipta, rasa dan karsa. Anjungan Pura Pakuamalan menjabarkan sebagian besar batik yang motifnya dilukis oleh istri dari KGPAA Paku Alam X.
Anjungan Mangkunegaran memamerkan batik sogan dengan motif klasik koleksi dari Museum Batik Danar Hadi Solo. Dipaparkan keterangan yang memperjelas filosofi masing-masing. Mulai dari prosesi kelahiran ada Semen Cuwiri (Kopohan), Parang Canthel digunakan oleh anak gadis setelah menstruasi pertama, Parang Pamor untuk anak laki-laki setelah sunatan. Motif Satriya Manah yang dipakai oleh seorang pria saat akan melamar calonnya, sebaliknya si gadis mengenakan motif Semen Rante yang mempunyai makna bahwa dia sudah sanggup diikat dalam sebuah perkawinan. Dan koleksi batik motif klasik yang dikenakan ketika perkawinan, mitoni dan proses kehidupan lainnya.
Selesai melihat semua anjungan, saya beranjak menuju deretan alat peraga yang sudah diberi kebaya encim dan kain batik yang dililitkan di bagian pinggangnya. Kebaya encim sendiri merupakan kebaya yang dulu dipakai dan diperkenalkan oleh wanita peranakan Tionghoa di Nusantara. Biasanya diberi bordir bunga-bungaan menyelaraskan jarit yang dipakainya. Lambat laun gaya berpakaian mereka ditiru oleh perempuan peranakan Eropa yang dulu menetap di Hindia Belanda. Kini kebaya encim sudah menjadi bagian dari fashion Indonesia.
Akhirnya saya tiba di sebuah stan milik Balai Besar Kerajinan dan Batik yang membuka kantor di Jl. Kusumanegara no. 7, Bantul. Stan ini boleh dibilang sepi pengunjung karena tidak memamerkan koleksi batik dengan warna dan corak yang mengundang perhatian. Namun, di sanalah saya disadarkan dari penipuan tentang batik bukan batik yang selama ini dianggap batik oleh orang awam ataupun yang tidak mau tahu-menahu tentang warisan bernama batik.
Perlu diketahui sebelumnya bahwa sebenarnya yang bisa dianggap kain batik (asli) adalah kerajinan tangan yang menggunakan canting tulis disebut Batik Tulis, menggunakan alat canting cap disebut Batik Cap, dan kombinasi keduanya (tulis dan cap) disebut Batik Kombinasi. Kain yang tidak menggunakan salah satu metode tersebut apalagi kain printing hasil dari pabrik tekstil hanya bisa disebut sebagai kain bermotif, bukan batik. Paham, ‘kan?
Penjaga stan menyambut dan menggiring saya ke sudut yang memajang jajaran kain peraga langkah-langkah proses pembatikan. Urutannya mulai dari mbatik tulis/ cap – nyolet – fiksasi warna – nutup – melatar warna – nglorod. Mas itu menerangkan bahwa batik yang diakui oleh UNESCO adalah metode pembuatan kain yang hasil pewarnaan secara perintangan menggunakan malam panas sebagai perintang warna dengan alat utama pelekat malam (lilin batik) berupa canting, dan atau canting cap untuk membentuk motif tertentu yang memiliki makna – sesuai dasar dari SNI 0239:2014. Saya pun mengangguk pelan.
“Lalu ini batik yang proses pembantikannya seperti apa, mas?” tanya saya sambil menunjuk ke selembar kain yang ditempeli tulisan Print Malam Dingin. Dia pun menjelaskan bahwa ini adalah salah satu tiruan batik alias bukan batik asli karena diproses dengan cara memadukan sablon. Motif batik ditutup menggunakan malam dengan alat printing untuk sablon, setelah itu proses pencelupan warna seperti proses pembatikan. Jika tidak diamati dengan benar, kain ini bau khas malam yang sekilas mirip dengan Batik Cap. Namun, goresan bekas malam tidak selalu tepat sama pada setiap sambungan motif, terdapat rembesan warna, dan pinggir garis motif pada kain tampak bergerigi.
Selanjutnya mas penjaga mengeser langkahnya menuju ke sudut yang memamerkan contoh tiruan batik yang lain, Print Cabut Warna. Kain yang ini lebih halus penipuannya karena menggunakan teknik melekatkan bahan kimia cabut warna untuk membentuk motif. Mempercepat waktu produksi dan menghemat bahan adalah bentuk kecurangan yang dilakukan si empunya usaha. Sampai tahap itu biasanya dikombinasikan dengan menggoreskan canting tulis dan atau canting cap untuk menaruh kesan kepada pembeli bahwa yang mereka hasilkan adalah batik tulis! Saya tercegang melihat contoh tiruan batik itu. Bisa saja ada banyak orang tertipu dengan harga mahal yang akan mereka tawarkan jika pembeli tidak jeli dan hati-hati dalam menilai batik tulis maupun batik cap yang asli. Ya kalau harganya dibuka ratusan ribu rupiah, bagaimana jika dihargai jutaan rupiah? Nah, lho.
Di akhir percakapannya, dia memberi solusi bahwa lebih aman membeli batik asli di tempat pengrajinnya langsung. Melihat langsung bagaimana mereka mencurahkan seluruh perasaannya ketika menggoreskan malam di atas kain. Meyakinkan diri bahwa harga mahal yang harus dibayar untuk selembar batik adalah nilai yang pantas setelah melihat keuletan dan ketelitian para pembatik. Sudah saatnya mulai memaknai selembar batik yang dibuat oleh pengrajin asli yang telah menghabiskan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk menghasilkan sebuah karya masterpiece bernama batik.
Artikel by :
Baca juga: