Translate

Kamis, 02 Juli 2015

Batik Raja Ampat Papua


Pameran batik bertajuk "Gelar Batik Nusantara 2015" sudah dimulai sejak Rabu (24/6/2015). Pameran yang dibuka langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla ini diikuti oleh ratusan peserta yang menampilkan berbagai jenis batik mulai dari batik Pekalongan, Solo, Jogja, hingga Batik Papua.

Di salah satu stan, seorang pria memperkenalkan diri, dengan wajah ramah menyambut dan mempersilahkan untuk melihat dua orang wanita sedang menggoreskan malam ke atas kain mori.

Corak yang digambar pun berbeda, tidak seperti kebanyakan batik yang sudah lama beredar. Ada pola ikan, bintang laut, hingga rumput laut.

"Ini corak biota laut yang dipadupadankan dengan corak pagar adat, tidak lupa juga ada corak suling tambur yang menjadi ciri khas batik kami", kata Chanry Suripati (38), pria yang menyambut KompasTravel.

Ketika Chanry mengatakan suling tambur, sontak memori membawa ke sebuah tempat wisata yang di bagian timur Indonesia, Raja Ampat. Sebuah tempat yang memiliki keindahan laut dan kekayaan biota laut. Ya, suling tambur merupakan alat musik tradisional khas Raja Ampat.

"Ya itu ciri khas batik Raja Ampat, lebih banyak corak biota laut, suling tambur, juga gambar batu pra-sejarah", tambah Chanry.

Batik Raja Ampat dicetuskan oleh Chenry dan pasangannya Adriana Imelda Daat (36) pada 2011. Dari awalnya hanya mengirimkan corak khas Raja Ampat untuk diolah menjadi batik di Solo, Chanry mulai belajar bagaimana membatik sendiri.
Kerja kerasnya mulai dilihat oleh Pemda setempat. Dari situ mereka diberikan bantuan dana untuk memberangkatkan 12 orang untuk belajar membatik di Batik Mahkota Lawean, di Solo.

Tidak hanya belajar membuat batik dari awal hingga akhir, di sana Chanry juga belajar bagaimana manajemen pemasaran batik. Nama batik Raja Ampat mulai dikenal beberapa tahun terakhir sehingga mulai diajak untuk mengikuti sejumlah pameran batik.
"Kami mulai merasakan hasil jerih payah kami itu sejak dibantu oleh Pemda untuk belajar di Solo. Dari sana kami belajar bagaimana membuat batik, mulai dari menggambar corak, mewarnai hingga melorotkan lilin malam," kata Chanry.


Setelah itu Chanry tidak berpangku tangan dengan bantuan dari Pemda. Dengan usaha mandiri dia mencoba memasarkan batik, beberapa kali dia harus menggelontorkan uang pribadi agar usahanya bisa tetap berjalan.



"Sekarang saya sudah membuka satu ruko di Sorong yang khusus menjual batik Raja Ampat. Selain di Sorong ya langsung di tempat saya di Raja Ampat," tambahnya.


Usaha Chanry secara tidak langsung membawa angin segar bagi masyarakat di Raja Ampat. Sejumlah warga mulai tertarik untuk terlibat membuat batik Raja Ampat. Terkadang Chanry yang membuat corak, warga yang menuliskan lilin malam ke corak tersebut.


"Dulu awalnya ada 12 orang yang ikut terlibat, kalau sekarang tinggal enam orang yang aktif. Karena jarak lokasi tempat saya dan warga cukup jauh, jadi ya mereka tidak bisa selalu aktif," ujar Chanry.



Untuk pembagian keuntungan Chanry menghitung dari tingkat kesulitan proses membuat batik. Dia mengaku terkadang bisa membagi 50-50 atau 70-30 untuk keuntungan. Ketika ditanya soal harga batik Raja Ampat, Chanry mengatakan untuk kualitas paling murah ada di kisaran Rp 750.000 hingga Rp 1 Juta.



"Kalau yang batik tulis dengan corak yang khusus bisa dikisaran Rp 5 juta - Rp 10 juta," katanya.



Hingga saat ini Chanry mengaku belum mendapatkan bantuan binaan dari pihak manapun kecuali dari Pemda Raja Ampat. Hal itu tidak menjadi halangan buat untuk terus mengembangkan batik Raja Ampat.



"Membatik itu harus dari hati, harus ada totalitas yang harus diberikan agar apa yang sudah saya rintis ini bisa bertahan," tutupnya.



(kompascom)
0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953