Translate

Rabu, 15 Juli 2015

Lawe Lurik, tenun khas Yogya






Berawal dari kecintaan pada budaya tenun tradisional di Indonesia, 5 perempuan menceburkan diri dalam dunia lurik di sekitar Klaten, Jawa Tengah. Namun, dari upaya konservasi tenun tradisional itu, ternyata ada nilai tambah, ada pemberdayaan perempuan. Banyak manfaat diraih. 


Langkah itu dimulai pada 3 Agustus 2004, dengan didirikannya Lawe sebagai perhimpunan oleh Adinindyah Feriqo, Ita Natalia, Paramita Iswari, Rina Anita, dan Westiani Agustin. Lurik dipilih karena lokasi produksinya di Klaten, dekat dengan Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama lawe berarti "serat alam" atau "benang".



Adinindyah Feriqo (37), ketua perhimpunan Lawe, menceritakan, sampai tahun 2006, Lawe masih ”bergerilya”. Produksi sudah berjalan, namun masih sebatas dijual kepada rekan-rekan. Modal awalnya sekitar Rp 3,5 juta, dihimpun dari iuran mereka berlima dan pinjaman kerabat.



Bahan-bahan itu dikreasikan menjadi berbagai bentuk, di antaranya dompet, kantong kecil, tas jinjing, tas laptop, tas belanja yang bisa dilipat, dan sebagainya, bahkan baju. Lurik bermotif salur dipadukan dengan lurik polos, berwarna terang maupun gelap. Hasilnya, barang-barang cantik, unik, dan gaya.



Tahun 2005 dan 2006, Lawe sempat menitipkan produk dalam ajang pameran kerajinan Inacraft, di Jakarta. Namun, hasilnya tidak menggembirakan. ”Produk susah terjual, kami sempat agak pesimis. Lurik belum populer,” kenang Adinindyah di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.



Kondisi itu berubah pada tahun 2007, saat Lawe benar-benar aktif terjun berbisnis. Menggunakan dana pinjaman, Lawe menjadi peserta Inacraft secara mandiri. Lain ceritanya. Sebagai peserta, Lawe bisa berinteraksi dengan calon pembeli dan pengunjung. Terutama, menceritakan tujuan dan proses pembuatan produk Lawe. Produk sukses terjual.



Lawe memang tak main-main dengan kualitas. Konsekuensinya, tidak bisa bersaing dengan kerajinan asal-asalan berharga miring. Harga produk Lawe memang terkesan menyasar kelompok masyarakat menengah-atas. Namun, sebanding dengan tingkat kesulitan proses pembuatan tenun dan bahan dasar berkualitas yang dianut Lawe.



Meski yakin tetap ada segmen pembeli, siasat tetap dilakukan agar produk Lawe terjangkau semua kalangan. Caranya, bahan dikombinasikan dengan bahan lain—tak melulu lurik—sehingga harganya terjangkau.



Lawe terus berkembang. Galeri yang menjual produk Lawe pun didirikan, berdampingan dengan galeri pelukis almarhum Amri Yahya di Yogyakarta. Setiap menjelang Idul Fitri, Lawe menggenjot produksi untuk mengisi ruang pamer di kawasan Alun-alun Selatan Yogyakarta.



Menurut Adinindyah, saat ini Lawe tengah berproses menuju koperasi. Sebagai badan sosial, unit bisnisnya akan dikembangkan dan dilegalkan menjadi koperasi. Selain bisnis, Lawe juga mengemban misi sosial agar semua orang punya kesempatan berkembang.



Proses produksi Lawe digawangi 11 orang yang kesemuanya perempuan di bengkel kerja Lawe di kawasan Bugisan, Yogyakarta. Ada yang menangani pemasaran, mencari ide, menjahit contoh produk, dan menjahit produk. Semua buatan tangan.



Desain produk, menurut Adinindyah yang lulusan arsitektur Universitas Gadjah Mada, didapat dari internet dan buku-buku desain. Akan tetapi, semua orang yang terlibat di dalam Lawe boleh mengusulkan ide. Ide itu dibahas bersama, bahkan dibuat contohnya untuk dilihat kelayakan jual dan produksinya.



”Seru. Misalnya, ada ide yang menarik. Ternyata setelah dituangkan, rumit sekali. Atau, setelah ada contohnya, kita bahas, kira-kira ada yang mau beli atau tidak? Ternyata tidak, ya sudah, tidak jadi diproduksi,” ujar Adinindyah sambil tertawa.



Fitriana Werdiningsih, Manajer Unit Bisnis Lawe, menimpali, tak adanya batasan aliran tertentu dalam desain produk justru membuat ide-ide kreatif terus bermunculan. Ide-ide yang kadang ”liar” itu dituangkan dalam acara-acara tertentu. Kadang sukses, kadang gagal.



Saat ini, produk Lawe yang paling diminati adalah tas dan pernak- pernik. Potensi baju juga besar. Namun, Adinindyah mengaku belum sanggup memproduksi baju dalam jumlah besar.



Selain di galeri, produk Lawe dapat dilihat pada situs www.housesoflawe.com. Dalam situs itu di antaranya terpampang tas selena seharga Rp 165.000, dompet Rp 55.000, dan tas belanja seharga Rp 70.000.



Kini, omzet Lawe rata-rata Rp 50 juta per bulan. Pembelinya tak melulu dari Indonesia, ada juga dari Australia dan Belgia. Usaha meningkatkan penjualan dilakukan dengan giat mengikuti pameran. Lawe pun sempat mendapat pinjaman dari PT Jamsostek sebagai mitra binaan, tahun 2009. Pinjaman untuk modal itu lunas dalam 3 tahun.



Dengan terus berkembangnya produk, tentu kebutuhan bahan baku semakin besar. Lawe kini tak hanya mengambil kain tenun dari wilayah Bantul, tetapi juga menjalin kerja sama dengan perajin tenun dari Moyudan (Sleman), Nanggulan (Kulon Progo), dan Klaten.



Kembali pada tujuan konservasi tenun Indonesia, Lawe tak hendak maju sendiri. Lawe mulai menggandeng tangan kelompok dari daerah lain agar bersama menjaga kelestarian dan memajukan tenun tradisional sekaligus meraup benefit. Mereka menyebut diri sisterhoodatau persaudaraan.



Sejak tahun 2009 hingga kini, tercatat 6 saudara terjalin. Mereka berasal dari Sumba Barat, Bali, Pontianak, Pekanbaru, Sumatera Utara, dan satu rekan yang memproduksi baju berbahan lurik dan batik.



Perjuangan Lawe untuk mengembangkan lurik tampaknya tidak sia-sia. Meski bintangnya belum seterang batik, lurik kini kian dilirik.

kompascom
0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953