Translate

Rabu, 20 Juli 2016

LYDIA MALINDA, Menjaga Harkat Tenun Sasak



Kurangnya penghargaan terhadap tenun sasak, bahkan oleh penenunnya sendiri, membuat Lidya Malinda (36) prihatin. Dia berjuang mengangkat harkat tenun warisan leluhur itu. Seiring terangkatnya harkat tenun, terangkat pula kesejahteraan para perajinnya, yakni kaum perempuan Sasak.

Lidya ingat betul falsafah hidup yang diajarkan orangtuanya. Salah satunya, perempuan Sasak harus pandai menenun atau menyesek. Keterampilan menenun bahkan menjadi syarat utama bagi perempuan untuk memasuki jenjang pernikahan atau layak dipersunting laki-laki.

Setelah menikah dan mulai membina rumah tangga baru, perempuan Sasak hanya dibekali alat tenun dan bahan benang. Masyarakat suku Sasak percaya, dengan menenun, kaum perempuan mampu mencapai kemandirian ekonomi. Mereka tak perlu bergantung pada suami.

Di tempat tinggal Lydia, di Dusun Bun Mudrak, Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, hampir semua perempuannya bisa menenun. Mereka bekerja dari pagi hingga sore hari dan hanya istirahat saat makan atau waktu shalat.

Setiap penenun memerlukan waktu 2 minggu hingga 1 bulan untuk menghasilkan selembar kain, tentu saja tergantung motif dan bahan benang. Setiap motif memiliki kerumitan tersendiri. Begitu pula dengan bahan benang, memiliki tantangan berbeda pada setiap jenisnya, seperti benang sutra dan benang emas.

Kain tenun yang sudah jadi lazimnya dijual kepada pengumpul (sebutan untuk pengepul barang). Namun, harga jual tenun tak menentu. Dalam kondisi terdesak kebutuhan ekonomi, penenun kerap mengabaikan harga, dan lebih mengejar uang.

Selembar kain tenun motif kembang komaq, misalnya, pada kondisi normal dijual Rp 250.000-Rp 300.000 per lembar. Namun, dalam keadaan terdesak kebutuhan, terkadang penenun melepas kainnya dengan harga di bawah Rp 200.000 bahkan Rp 150.000 per lembar. Alhasil, mereka hanya mengantongi Rp 90.000 hingga Rp 140.000 karena dipotong modal beli benang Rp 60.000.

Dengan proses pembuatan yang memakan waktu dua minggu atau 14 hari, tenaga dan kreativitas mereka hanya dihargai Rp 10.000 per hari. Ini lebih rendah dari buruh di sawah yang upahnya Rp 20.000 per hari. Rata-rata penenun bekerja delapan jam dalam sehari.

Hasil penjualan kain tenun itu harus dibelikan benang baru agar mereka bisa kembali bekerja. Hanya sebagian kecil yang dipakai belanja kebutuhan rumah tangga. Itu pun hanya cukup beli lauk dan barang kebutuhan harian.

Lydia prihatin dengan rendahnya daya tawar penenun Sasak. Dia pun terpanggil membantu mengembalikan daya tawar perempuan Sasak dan harkat tenun agar tak makin merosot. Awalnya, dia membantu sang ibu mengumpulkan kain dari para penenun.

”Kain-kain tenun itu dibeli secara tunai, tidak kredit. Banyak pengumpul yang baru memberikan uang setelah kainnya laku, tetapi kami tidak. Ibu juga membelinya dengan harga di atas harga yang diberikan oleh pengumpul, sehingga penenun tertarik melepas kainnya,” ujar Lydia.

Setelah kain tenun berpindah ke tangan ibundanya, kain itu disimpan dan baru dijual apabila pembeli memberikan harga yang pantas. Jika pembeli memberikan harga sangat tinggi, ibunda Lidya tak segan membagi selisih keuntungannya kepada penenun.

Sejak 1998, Lydia mulai jalan sendiri mengumpulkan kain tenun. Dia juga meminjamkan modal berupa benang kepada penenun agar mereka bisa berproduksi. Setelah jadi kain tenun, dia tak mewajibkan penenun menjual kepadanya.

Lydia membebaskan penenun yang mengambil benang di tempatnya menjual kain tenun kepada pengumpul lain yang memberikan harga lebih tinggi. Bagi guru Bahasa Indonesia ini, kepuasan batin menolong penenun jauh lebih bermakna dibandingkan keuntungan materi yang dikumpulkan.


Jaga kualitas


Untuk mendongkrak kesejahteraan para penenun, Lydia harus menjual kain di atas harga yang diberikan para pengumpul lain. Namun, dia juga tak mau pembelinya kelak merasa dirugikan karena membayar lebih mahal untuk barang dengan kualitas sama.

Untuk mengakomodasi kepentingan produsen dan konsumen, mantan guru taman kanak-kanak ini menyiasatinya dengan menjaga kualitas tenun. Dia hanya memberikan kain tenun dengan kualitas terbaik kepada konsumen untuk menjaga kelangsungan bisnisnya.

Cara lain dilakukan dengan memproduksi kain tenun yang jarang diproduksi. Misalnya, tenun dengan bahan sutra dan benang emas. Selain proses produksinya susah karena rumit, bahan benangnya juga mahal sehingga tidak semua penenun mampu membuatnya. Pasar tenun sutra dan benang emas sendiri cukup menjanjikan karena barangnya eksklusif.

Selembar kain tenun sutra bisa dijual di atas Rp 2 juta. Tenun benang emas harganya lebih mahal lagi, bahkan bisa belasan juta rupiah. Adapun proses produksinya memakan waktu sebulan hingga dua bulan karena butuh ketekunan dan kehati-hatian saat merangkai helai-helai benang.

Masih dalam kaitan menjaga kualitas, Lydia tak segan bereksperimen menghasilkan pewarna kain dari bahan alam, seperti kulit pohon jati untuk warna pink dan abu pembakaran untuk warna hitam. Dia rajin menggali resep-resep pewarna alam warisan leluhur dan mencobanya. Kendala ada pada semakin sulitnya mendapatkan bahan alam, seperti daun tertentu dari pohon yang sudah langka.

Tak sepi

Lydia kini memiliki 20 penenun yang dia bina secara langsung. Mereka khusus mengerjakan tenun berbahan benang sutra dan benang emas dengan produksi 20-25 lembar songket dan 100 lembar tenun per bulan. Pasar atau pembeli mereka tidak pernah sepi. Pesanan kerap membanjir sehingga mereka kewalahan melayani akibat tenaga yang terbatas.

Sebelumnya, Lydia membina 52 penenun Sasak. Hingga suatu hari, dia mendorong dua penenunnya untuk mandiri dan mengambil alih pembinaan terhadap 30 penenun lainnya. Dengan berkurangnya penenun binaan, Lydia lebih fokus melatih 20 penenun menjadi spesialis tenun sutra dan benang emas.

Selain itu, dia menjadi lebih fokus menangani pemasaran. Sebab, persaingan yang dihadapi tenun sasak makin ketat. Selain bersaing dengan sesama pengumpul, dia harus melawan gempuran tenun dari luar yang membanjiri pasar wisata di Lombok. Harga tenun dari luar ini sangat kompetitif, Rp 50.000 hingga Rp 150.000 per lembar.

Selain mengandalkan pemasaran lewat gerai di Dusun Bun Mudrak, Lydia juga menjaring konsumen lewat etalase daring di dunia maya. Para penenun binaannya juga didorong menerobos pasar lewat kegiatan pameran di kabupaten, provinsi, serta di tingkat nasional.

Energi Lydia seakan tak pernah habis. Tak hanya mengurus penenun, produksi, dan pemasaran, dia juga mengajar di sekolah menengah pertama. Di luar aktivitas itu, dia tak pernah absen mengurus Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Tunas Mandiri yang didirikannya sejak 1995.

Di PKBM inilah dulu dia mengentaskan penenun dari buta huruf dan meningkatkan taraf pendidikannya. Dia mengajari mereka mengelola keuangan keluarga dan hasil penjualan kain tenun hingga membangun koperasi simpan pinjam untuk membantu permodalan penenun.

Semua yang digiatkan Lydia itu tak mudah dan tak murah. Namun, dia telah membuktikan, tenun tak sekadar kain adat, melainkan alat mencapai kemandirian ekonomi bagi perempuan Sasak.

LYDIA MALINDA

Lahir:
Sukarara, 3 Juli 1980
Suami:
Liasih (37)
Anak:
Giat Prakarsa (14)
Pendidikan:
SDN 1 Dasan Baru, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah
SMPN 4 Jonggat, Lombok Tengah
SMAN 5 Mataram
S-1 Universitas Muhammadiyah Mataram
Pekerjaan:
Guru Taman Kanak-Kanak Dasan Baru (2002-2008)
Guru SMPN 5 Jonggat (2009-sekarang)

sumber : kompas
0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953