Translate

Sabtu, 22 Oktober 2016

Pameran di TMII, Tenun Ikat Sintang Suku Dayak Kalbar Diminati Warga Jakarta

Tenun Ikat Sintang , Kalimantan Barat


Produk lokal masyarakat Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat yakni Tenun Ikat Sintang turut hadir di Pekan Produk Budaya Indonesia 2016 (PPBI 2016) di Parkiran selatan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Dalam sistem kebudayaan leluhur Dayak, tekstil berperan penting dalam kehidupan sehari-hari dan upacara adat. Suku Dayak membuat tenunan dengan motif yang indah untuk baju, rok, cawat, dan selimut. Terdapat perbedaan dekorasi teknik dalam pembuatan kain tenun khas suku Dayak Kabupaten Sintang yaitu ikat, sungkit, pilin dan idan.

Kegiatan menenun pada mulanya merupakan kegiatan sampingan yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga dan para gadis selepas bekerja di ladang baik itu setelah menoreh atau bisa juga dilakukan ketika ada waktu senggang. Sambil bersantai di ruai (bale bambu) mereka berkelompok mengerjakan tenunan mereka masing-masing sambil bersenda gurau.

Kain tenun Sintang dari Kalimantan barat tepatnya berasal dari 2 daerah kecil di Kabupaten Sintang, yaitu Ensaid panjang dan Bukit kelam. Hasil tenun ikat dari kedua daerah itu ditangani pemasarannya dengan sangat baik oleh sebuah Koperasi luar negeri milik Pastor Mensen. Beliau adalah seorang misionaris Katholik asal Belanda yang sudah selama 50 tahun mengabdikan dirinya untuk memajukan masyarakat Dayak di Pulau Kalimantan.

"Pembuatan satu kain tenun oleh Suku Dayak Sintang di desa Ensaid panjang dan Bukit kelam memakan waktu 3 bulan. Dan setelah selesai kain tersebut akan diupacarakan secara adat terlebih dahulu sebelum dipasarkan," tutur Nina Safrina, Ketua tim pameran budaya Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan barat kepada Cendana News.

Pada masa lampau Suku Dayak membuat kain tenun menjadi sakral. Menurut kepercayaan leluhur, dunia dibagi dua kehidupan yaitu dunia atas dan dunia bawah. Bentuk sakral dari kain tenun bagi masyarakat Dayak terdapat pada benang dan motif. Karena kain tenun dianggap sakral, maka kain tenun ikat menjadi pakaian wajib dalam setiap upacara adat masyarakat Dayak.

Benang menjadi sakral pada proses pewarnaan kain tenun. Karena menurut kepercayaan masyarakat Dayak, saat roh pewarna dunia bawah menyatu dengan roh pewarna dunia atas maka saat itulah benang jadi memiliki arti sakral. Oleh karena itulah, untuk menjaga animo masyarakat Dayak dalam menghasilkan tenun ikat serta untuk menghargai kebudayaan leluhur mereka maka Pastor Mensen semakin membantu masyarakat Dayak Sintang agar bisa menggali lebih dalam motif-motif tenun ikat peninggalan leluhur mereka agar bisa diproduksi kembali suatu saat nanti.

Berdasarkan tehnik pewarnaan jenis kain tenun ikat Dayak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu  tenun ikat menggunakan pewarnaan kimia (bahan kimia) dan tenun ikat menggunakan pewarnaan alami (tumbuh-tumbuhan). Dalam proses pewarnaan kain tenun biasanya seorang penenun suku Dayak harus mengenakan kain adat berbentuk tating untuk menghormati leluhur atau nenek moyang mereka.


Tenun Ikat Sintang, Suku Dayak, Kalimantan Barat


Jika dua macam kain tenun ikat diatas dibagi berdasarkan proses pewarnaan, maka berdasarkan hasil pengerjaannya tenun ikat Dayak terbagi menjadi dua jenis, yakni Kebad dan Kumbu. Tenun ikat Kebad berukuran agak kecil dan hanya dapat dibentuk menjadi busana wanita dan anak-anak, sedangkan Tenun ikat Kumbu berukuran lebih besar sehingga dapat dibentuk menjadi busana baik pria, wanita maupun anak-anak.

Dalam PPBI 2016, Kabupaten Sintang melalui Museum Kapuas Raya yang berada dibawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sintang Kalimantan Barat mencoba membawa hasil-hasil tenun ikat masyarakat Sintang dalam bentuk syal. Dan hasilnya sungguh diluar ekspektasi karena baru hari pertama pameran syal tenun ikat Sintang sudah terjual sebelas lembar kepada pengunjung PPBI 2016 maupun pengunjung TMII yang singgah ke lokasi pameran PPBI.

Hal ini cukup mengagetkan karena sebenarnya tenun ikat Sintang lebih terkenal di Eropa dibanding di Negara sendiri, bahkan tenun ikat Sintang suku Dayak sudah ada di museum Amsterdam, Belanda sejak lama. Animo masyarakat terhadap tenun ikat Sintang menjadi suntikan semangat bagi Nina Safrina dan rekan-rekannya yang datang jauh-jauh dari Sintang ke TMII, Jakarta timur.

"Kami berharap kedepannya tenun ikat Sintang semakin mendapat tempat di hati masyarakat luas seluruh nusantara. Kami ingin perjuangan para pengrajin dan Pastor Mensen di Sintang dalam mengangkat tenun ikat lokal terbayarkan dengan membuminya tenun ikat Sintang di Indonesia. Dan semoga program pemerintah dengan pameran seperti ini bisa terus berjalan karena ini sangat membantu kami juga yang berada di daerah terpencil untuk dikenal lebih luas lagi dari sebelumnya," papar Nina.

Keadaan yang berlaku atas para pengrajin tenun ikat Sintang saat ini memang butuh sentuhan pemerintah pusat. Malah pemerintah pusat seolah tinggal memoles saja karena selama ini mereka secara mandiri telah berkembang. Jika memang cara tersebut berhasil maka percepatan pertumbuhan ekonomi daerah terpencil akan segera terwujud.

Ibarat bunga, maka tenun ikat Sintang sudah siap mekar dan tinggal disirami air secara konsisten serta mendapat sinar matahari yang cukup maka tenun ikat Sintang akan mekar pada waktunya.

Pemesanan Tenun Ikat Sintang, silahkan ke SINI

sumber : cendananews.com
Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : Rayvan Lesilolo / Foto : Miechell Koagouw
0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953