Translate

Tampilkan postingan dengan label Berita tentang Tenun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita tentang Tenun. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Juli 2016

Tenun Sasak, kerajinan kain khas Lombok, kian sulit bertahan di tengah desakan produk tenun dari luar daerah.

Suku sasak desa sade Lombok selatan merupakan penghasil tenun ikat khas Lombok . (Roki Pandapotan/Fotokita.net)


Tenun Sasak, kerajinan kain khas Lombok, kian sulit bertahan di tengah desakan produk tenun dari luar daerah. Kalangan Perajin membutuhkan dukungan pemberdayaan agar mampu menghasilkan produk kain tenun yang bernilai kompetitif di pasaran.

Tokoh komunitas suku Sasak di dusun wisata Ende, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Tamat (41), mengatakan, kelestarian tenun Sasak terancam kehadiran tenun dari luar daerah yang membanjiri gerai seni di kawasan wisata dan perdagangan.

Harga tenun dari luar daerah lebih murah Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per helai daripada kain tenun Sasak sehingga cenderung lebih diminati wisatawan sebagai oleh-oleh. ”Sedangkan kain tenun Sasak masih dianggap terlalu mahal,” ujar Tamat, Senin (20/6/2016).

Di desa wisata itu, kain tenun Sasak pun tidak menjadi satu-satunya pilihan produk. Demi menarik minat wisatawan, pengelola gerai seni mendatangkan kain dari luar daerah. 

Ada kain yang dipesan dengan motif khas Sasak, tapi merupakan hasil produksi luar daerah. Sebagian besar produk didatangkan dari Jawa. Kain bermotif non-Sasak pun turut dipamerkan dalam gerai.

Harga sehelai kain tenun asli Sasak berbahan katun mencapai Rp 500.000-Rp 800.000 untuk ukuran 60 x 200 sentimeter. Sementara harga kain berbahan sutra Rp 1,75 juta hingga Rp 2 juta per helai.

Dengan ukuran yang sama, harga kain tenun berbahan katun yang dipasok dari Jawa Rp 200.000-Rp 300.000. Bahkan, untuk ukuran lebih besar, 2 x 2 meter, harga kain tenun berbahan katun Rp 400.000.

Perajin setempat, Milanif (60), mengatakan, harga tenun Sasak lebih mahal karena proses pengerjaannya lama. Para perajin masih mempertahankan peralatan serba tradisional, mulai alat memintal benang hingga penenunan.

Begitu pula kualitas tenun pun sangat baik dengan kerapatan benang yang padat. Proses produksi pun menjadi lebih panjang. Pengerjaan sehelai kain berukuran 60 x 200 cm memakan 2-4 minggu, bergantung pada kerumitan motif.

”Hasil tenunannya memerlukan detail motif. Susunan benang yang ditenun sangat rapat agar kain awet. Ini membuat waktu pengerjaannya panjang,” ujar Milanif. Bandingkan dengan produksi tenun dari luar yang selesai dalam 3 hari.

Lydia Malinda (30), perajin tenun dari sentra kerajinan tenun Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, menyebut pembeli, terutama wisatawan, umumnya tidak bisa membedakan tenun sasak dengan tenun daerah lain. Kehadiran tenun dari luar kerap membuat perajin tenun sasak kesulitan menjual kainnya.

Banyak perajin terpaksa membanting harga agar kainnya mendekati harga pasaran. Dampaknya, penghasilan perajin lokal kian menipis. Dari produksi selembar kain yang memakan 2-3 minggu, seorang perajin hanya memperoleh penghasilan bersih Rp 200.000. Itu berarti ia memperoleh pendapatan Rp 10.000- Rp 15.000 per hari.

sumber : nationalgeographic

LYDIA MALINDA, Menjaga Harkat Tenun Sasak



Kurangnya penghargaan terhadap tenun sasak, bahkan oleh penenunnya sendiri, membuat Lidya Malinda (36) prihatin. Dia berjuang mengangkat harkat tenun warisan leluhur itu. Seiring terangkatnya harkat tenun, terangkat pula kesejahteraan para perajinnya, yakni kaum perempuan Sasak.

Lidya ingat betul falsafah hidup yang diajarkan orangtuanya. Salah satunya, perempuan Sasak harus pandai menenun atau menyesek. Keterampilan menenun bahkan menjadi syarat utama bagi perempuan untuk memasuki jenjang pernikahan atau layak dipersunting laki-laki.

Setelah menikah dan mulai membina rumah tangga baru, perempuan Sasak hanya dibekali alat tenun dan bahan benang. Masyarakat suku Sasak percaya, dengan menenun, kaum perempuan mampu mencapai kemandirian ekonomi. Mereka tak perlu bergantung pada suami.

Di tempat tinggal Lydia, di Dusun Bun Mudrak, Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, hampir semua perempuannya bisa menenun. Mereka bekerja dari pagi hingga sore hari dan hanya istirahat saat makan atau waktu shalat.

Setiap penenun memerlukan waktu 2 minggu hingga 1 bulan untuk menghasilkan selembar kain, tentu saja tergantung motif dan bahan benang. Setiap motif memiliki kerumitan tersendiri. Begitu pula dengan bahan benang, memiliki tantangan berbeda pada setiap jenisnya, seperti benang sutra dan benang emas.

Kain tenun yang sudah jadi lazimnya dijual kepada pengumpul (sebutan untuk pengepul barang). Namun, harga jual tenun tak menentu. Dalam kondisi terdesak kebutuhan ekonomi, penenun kerap mengabaikan harga, dan lebih mengejar uang.

Selembar kain tenun motif kembang komaq, misalnya, pada kondisi normal dijual Rp 250.000-Rp 300.000 per lembar. Namun, dalam keadaan terdesak kebutuhan, terkadang penenun melepas kainnya dengan harga di bawah Rp 200.000 bahkan Rp 150.000 per lembar. Alhasil, mereka hanya mengantongi Rp 90.000 hingga Rp 140.000 karena dipotong modal beli benang Rp 60.000.

Dengan proses pembuatan yang memakan waktu dua minggu atau 14 hari, tenaga dan kreativitas mereka hanya dihargai Rp 10.000 per hari. Ini lebih rendah dari buruh di sawah yang upahnya Rp 20.000 per hari. Rata-rata penenun bekerja delapan jam dalam sehari.

Hasil penjualan kain tenun itu harus dibelikan benang baru agar mereka bisa kembali bekerja. Hanya sebagian kecil yang dipakai belanja kebutuhan rumah tangga. Itu pun hanya cukup beli lauk dan barang kebutuhan harian.

Lydia prihatin dengan rendahnya daya tawar penenun Sasak. Dia pun terpanggil membantu mengembalikan daya tawar perempuan Sasak dan harkat tenun agar tak makin merosot. Awalnya, dia membantu sang ibu mengumpulkan kain dari para penenun.

”Kain-kain tenun itu dibeli secara tunai, tidak kredit. Banyak pengumpul yang baru memberikan uang setelah kainnya laku, tetapi kami tidak. Ibu juga membelinya dengan harga di atas harga yang diberikan oleh pengumpul, sehingga penenun tertarik melepas kainnya,” ujar Lydia.

Setelah kain tenun berpindah ke tangan ibundanya, kain itu disimpan dan baru dijual apabila pembeli memberikan harga yang pantas. Jika pembeli memberikan harga sangat tinggi, ibunda Lidya tak segan membagi selisih keuntungannya kepada penenun.

Sejak 1998, Lydia mulai jalan sendiri mengumpulkan kain tenun. Dia juga meminjamkan modal berupa benang kepada penenun agar mereka bisa berproduksi. Setelah jadi kain tenun, dia tak mewajibkan penenun menjual kepadanya.

Lydia membebaskan penenun yang mengambil benang di tempatnya menjual kain tenun kepada pengumpul lain yang memberikan harga lebih tinggi. Bagi guru Bahasa Indonesia ini, kepuasan batin menolong penenun jauh lebih bermakna dibandingkan keuntungan materi yang dikumpulkan.


Jaga kualitas


Untuk mendongkrak kesejahteraan para penenun, Lydia harus menjual kain di atas harga yang diberikan para pengumpul lain. Namun, dia juga tak mau pembelinya kelak merasa dirugikan karena membayar lebih mahal untuk barang dengan kualitas sama.

Untuk mengakomodasi kepentingan produsen dan konsumen, mantan guru taman kanak-kanak ini menyiasatinya dengan menjaga kualitas tenun. Dia hanya memberikan kain tenun dengan kualitas terbaik kepada konsumen untuk menjaga kelangsungan bisnisnya.

Cara lain dilakukan dengan memproduksi kain tenun yang jarang diproduksi. Misalnya, tenun dengan bahan sutra dan benang emas. Selain proses produksinya susah karena rumit, bahan benangnya juga mahal sehingga tidak semua penenun mampu membuatnya. Pasar tenun sutra dan benang emas sendiri cukup menjanjikan karena barangnya eksklusif.

Selembar kain tenun sutra bisa dijual di atas Rp 2 juta. Tenun benang emas harganya lebih mahal lagi, bahkan bisa belasan juta rupiah. Adapun proses produksinya memakan waktu sebulan hingga dua bulan karena butuh ketekunan dan kehati-hatian saat merangkai helai-helai benang.

Masih dalam kaitan menjaga kualitas, Lydia tak segan bereksperimen menghasilkan pewarna kain dari bahan alam, seperti kulit pohon jati untuk warna pink dan abu pembakaran untuk warna hitam. Dia rajin menggali resep-resep pewarna alam warisan leluhur dan mencobanya. Kendala ada pada semakin sulitnya mendapatkan bahan alam, seperti daun tertentu dari pohon yang sudah langka.

Tak sepi

Lydia kini memiliki 20 penenun yang dia bina secara langsung. Mereka khusus mengerjakan tenun berbahan benang sutra dan benang emas dengan produksi 20-25 lembar songket dan 100 lembar tenun per bulan. Pasar atau pembeli mereka tidak pernah sepi. Pesanan kerap membanjir sehingga mereka kewalahan melayani akibat tenaga yang terbatas.

Sebelumnya, Lydia membina 52 penenun Sasak. Hingga suatu hari, dia mendorong dua penenunnya untuk mandiri dan mengambil alih pembinaan terhadap 30 penenun lainnya. Dengan berkurangnya penenun binaan, Lydia lebih fokus melatih 20 penenun menjadi spesialis tenun sutra dan benang emas.

Selain itu, dia menjadi lebih fokus menangani pemasaran. Sebab, persaingan yang dihadapi tenun sasak makin ketat. Selain bersaing dengan sesama pengumpul, dia harus melawan gempuran tenun dari luar yang membanjiri pasar wisata di Lombok. Harga tenun dari luar ini sangat kompetitif, Rp 50.000 hingga Rp 150.000 per lembar.

Selain mengandalkan pemasaran lewat gerai di Dusun Bun Mudrak, Lydia juga menjaring konsumen lewat etalase daring di dunia maya. Para penenun binaannya juga didorong menerobos pasar lewat kegiatan pameran di kabupaten, provinsi, serta di tingkat nasional.

Energi Lydia seakan tak pernah habis. Tak hanya mengurus penenun, produksi, dan pemasaran, dia juga mengajar di sekolah menengah pertama. Di luar aktivitas itu, dia tak pernah absen mengurus Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Tunas Mandiri yang didirikannya sejak 1995.

Di PKBM inilah dulu dia mengentaskan penenun dari buta huruf dan meningkatkan taraf pendidikannya. Dia mengajari mereka mengelola keuangan keluarga dan hasil penjualan kain tenun hingga membangun koperasi simpan pinjam untuk membantu permodalan penenun.

Semua yang digiatkan Lydia itu tak mudah dan tak murah. Namun, dia telah membuktikan, tenun tak sekadar kain adat, melainkan alat mencapai kemandirian ekonomi bagi perempuan Sasak.

LYDIA MALINDA

Lahir:
Sukarara, 3 Juli 1980
Suami:
Liasih (37)
Anak:
Giat Prakarsa (14)
Pendidikan:
SDN 1 Dasan Baru, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah
SMPN 4 Jonggat, Lombok Tengah
SMAN 5 Mataram
S-1 Universitas Muhammadiyah Mataram
Pekerjaan:
Guru Taman Kanak-Kanak Dasan Baru (2002-2008)
Guru SMPN 5 Jonggat (2009-sekarang)

sumber : kompas

Perajin NTB Diminta Kembali Kembangkan Tenun Lokal

foto : Aman Lase Collection


Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Hj Mufidah Jusuf Kalla meminta agar Dewan Kerajinan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat terus mengembangkan tenun lokal daerah itu.

Hal ini dikatakan istri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Hj Mufidah Jusuf Kalla saat memberikan pengarahan singkat di hadapan Pengurus Dekranasda se-Pulau Lombok, Provinsi NTB, Rabu (20/7/2016).

Mufidah Jusuf Kalla, mengatakan masyarakat NTB semestinya tidak turut latah meributkan tentang motif batik apa yang akan dikembangkan di daerahnya. Karena, batik sendiri merupakan ciri khas Jawa.

"Mari kembali ke akar budaya asli NTB, yaitu tenun. Batik kan milik Jawa, jadi tidak usah ikut-ikutan daerah lain," katanya.

Menurut Hj Mufidah Jusuf Kalla, kain tenun NTB dari dulu sudah bagus, tinggal bagaimana terus dikembangkan, sehingga bisa lebih dikenal banyak orang, bila perlu menembus kancah nasional dan internasional.

"Tenun NTB dari dulu sudah bagus, silahkan untuk terus dikembangkan," pesannya.

Kehadiran Hj Mufidah Jusuf Kalla bersama para istri menteri kabinet kerja di kota Mataram, NTB bertepatan dengan kunjungan kerja Wakil Presiden RI H Jusuf Kalla ke Pulau Sumbawa.

Sementara itu, Ketua Dekranasda NTB Hj Erica Zainul Majdi menyampaikan rasa syukur dan kebanggaannya atas kesempatan kunjungan dan silaturrahim Ketua Umum Dekranas RI Hj Mufidah Jusuf Kalla ke pulau Lombok.

"Kunjungan Ibu Ketua Umum Dekranas kali ini merupakan suatu kebahagiaan bagi kami karena bertepatan dengan pergantian Ketua Dekranasda 4 Kabupaten/Kota di Pulau Lombok, seiring dengan pergantian kepala daerah beberapa waktu lalu," ucap Hj Erica.

Untuk itu, istri Gubernur NTB ini berharap dengan kehadiran Ketua Umum Dekranas Hj Mufidah Jusuf Kalla ke Lombok dapat memberi arahan dan bimbingan bagi kemajuan kerajinan di daerah itu.

sumber: bisniscom

Kamis, 14 Juli 2016

Gaya Tantri 'Kotak' Berbusana Tenun


Busana tenun kini bisa menjadi pilihan untuk busana sehari-hari. Seperti Tantri 'Kotak' yang bergaya dengan outer tenun saat hadir di sebuah acara


sumber : detikcom

Senin, 11 Juli 2016

30 Motif Tenun Unggan Sijunjung, Sumatera Barat Dipatenkan



Pemerintah Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, mematenkan 30 motif kerajinan "Tenun Unggan" khas daerah itu pada 2016.

"Motif tersebut merupakan kreasi yang digali dari filosofi kearifan lokal masyarakat setempat, dengan tetap memerhatikan unsur estetika dan keindahan tenunan yang dihasilkan oleh Pengrajin," kata Kepala Bidang Industri Dinas Koperasi Industri dan Perdagangan (Koperindag) setempat, Hendri Nurka, di Sijunjung.

Menurutnya, pematenan motif tersebut dilaksanakan pihaknya melalui program "HiLink" 2016 Kementerian Pendidikan Tinggi, yang menunjuk Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatera Barat, sebagai pihak pelaksana dan nota kesepahamannya ditandatangani pada 15 April 2016.

Langkah tersebut, lanjutnya, merupakan bagian dari serangkaian upaya yang dilakukan pihak pemerintah kabupaten Sijunjung untuk menjadikan kerajinan tersebut sebagai salah satu produk unggulan dalam mengembangkan potensi ekonomi berbasis masyarakat, yang saat ini populasi pelaku usaha kerajinan tersebut sudah mencapai 200 orang dengan sebaran terbesar berada di Kecamatan Sumpur Kudus dan Sinyamu.

"Direncanakan penandatanganan nota tersebut akan dipusatkan di Nagari Unggan Kecamatan Sumpur Kudus," ujar dia.

Dia mengatakan, pihaknya juga telah melatih sebanyak 70 Pengrajin bersama Balai Diklat Industri (BDI) di Kota Padang, untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia para Petenun yang meliputi peningkatan keahlian menenun tingkat dasar serta cara mendesain motif pada kain.

Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga mendapatkan kucuran Dana Alokasi Khusus dari Kementerian Perindustrian sebesar Rp1,1 Miliar, guna membiayai sarana prasarana yang dibutuhkan para Pengrajin, diantaranya pengadaan alat tenun tradisional yang biasa disebut dengan "Palanta Tanun" dalam bahasa daerah setempat.

Terkait upaya promosi kerajinan Tenun Unggan oleh pihak Pemkab Sijunjung, Kepala Dinas Koperindag setempat, Febrizal Anshori, menjelaskan pihaknya menggandeng salah seorang desainer terkemuka, Samuel Wattimena, untuk mengenalkan keindahan Tenun Unggan pada tataran dunia fesyen di tingkat nasional bahkan internasional pada tahun 2011.

"Kami juga berupaya menampilkan kerajinan tenun yang dikenal memiliki motif khas "Seribu Bukit" pada beberapa pameran yang digelar berbagai pihak, dengan menggunakan bahan dasar berbagai jenis seperti linen dan sutera," kata dia.

Sementara itu, salah seorang petenun asal Nagari Unggan, Bariyah(56), mengatakan saat ini ia bersama sejumlah pengrajin lainnya sudah mampu memproduksi kain Tenun Unggan dengan harga dan kualitas cukup beragam.

"Harga jual saat ini cukup bersaing, yakni berada pada kisaran Rp275 ribu hingga Rp1 juta untuk satu lembar kain dengan segmen pasar terbesar masih didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) daerah itu serta para pelajar yang memang diwajibkan untuk menggunakan pakaian berbahan Tenun Unggan sebagai upaya menumbuhkan rasa kebanggaan memakai hasil kerajinan produksi daerah sendiri," kata dia.

sumber: Antara

Kamis, 16 Juni 2016

Halaman/Fans Page Facebook Aman Lase Collection mendapat status TERVERIFIKASI !!!



Alhamdulillahhh..

Setelah 2 Bulan mengajukan Pendaftaran dan mengirim Persyaratan, akhir nya mulai hari ini, 16 Juni 2016, Halaman/Fans Page Aman Lase Collection mendapat status :

TERVERIFIKASI !!!

oleh Manajemen Facebook, yg ditandai dgn Logo Cheklist di samping kanan nama Fans Page ini.
Besar harapan kami, dgn status TERVERIFIKASI ini lebih membuat Nyaman Anda utk Belanja Online di Aman Lase Collection https://www.facebook.com/AmanLaseCollection/ .

Terimakasih buat semua yg sdh Belanja Online selama ini.. :).

Demikian info membahagiakan ini sy share buat Anda semua.


Salam,
Aman Lase

AMAN LASE Collection
Thamrin City Mall Lt 1 Blok A 11 No 2, Tanah Abang, Jakarta.
www.amanlasecollection.blogspot.co.id (utk tampilan yg lgkap silahkan buka melalui Laptop atau kl dari HP pilih versi web
PERTANYAAN dan PEMESANAN ke :
1. CS 1 :
Telp/SMS 0812 8889 4243, WA 0819 3258 6216, PIN 2b13561f.
2. CS 2 (Ibu Ita) :
Telp/SMS 0812 1845 4288, WA 0877 8706 3296, PIN 5ffccd20
CARA PESAN :
Silahkan kirimkan foto produk, sebutkan kode dan ukuran dan tanya stok ke salah satu nomor di atas.
JAM KERJA : 10.00 - 19.00 WIB

Minggu, 27 September 2015

Peneliti: Tenun Ulos Batak Punah Dalam Waktu yang Tidak Akan Lama Lagi Jika Tidak Segera Diantisipasi







Ahli Sejarah Tekstil asal Kanada-Belanda Sandra Niessen mengatakan Indonesia membutuhkan strategi yang tepat untuk melestarikan budaya tenun sebagai kekayaan bangsa. "Kita butuh strategi tepat, karena jika tidak, akan jadi kerugian yang sangat disayangkan jika budaya tenun hilang," kata Sandra saat dihubungi Antara dari Bandung.



Sandra yang meneliti kain Ulos mengatakan kepunahan dari budaya tenun khas etnis Batak tersebut, tinggal menunggu waktu yang tidak akan lama lagi jika tidak segera dilakukan antisipasi. "Pemerintah memang ada perhatian, namun dengan tidak adanya kegiatan dan strategi untuk mengamankan aset kebudayaan dunia ini juga akan percuma," ujar dia.



Lebih lanjut Sandra mengatakan kurangnya informasi mengenai kebudayaan tenun, terutama Ulos jadi masalah karena seiring berjalannya waktu, yang menggeluti profesi sebagai penenun semakin jarang dan generasi penerus juga tidak ada.


"Solusi masalah tersebut, saya yakin tenun Ulos bisa jadi jurusan seni untuk mengisi kekosongan informasi. Saya rasa ini ada baiknya masuk kurikulum di universitas supaya orang berbakat dan berminat pada seni bisa coba pakai teknik penenunan dan fokus terhadapnya," kata dia.


Hal ini bisa dilakukan berswal dari niat semua pihak untuk memfasilitasi, jelas Sandra, sehingga anak yang memiliki perasaan seni memiliki jalannya. Karena selama ini tidak ada sumber informasi seperti museum atau catatan.


"Buku saya memang sumber informasi, tapi itu belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia sehingga tidak bisa dibaca oleh kebanyakan orang Indonesia," tuturnya.


Selain itu, Sandra mengutarakan ketiadaan pasar juga menjadi masalah tersendiri sehingga lambat laun profesi sebagai penenun ditinggalkan karena dianggap tidak bisa menghidupi ekonomi keluarga.


"Sebenarnya penenun masih setuju untuk menenun akan tetapi karena ketiadaan pasar, lambat laun mereka hilang. Jika keluarga bisa hidup dari tenunan ulos mereka pasti mau nenun, tapi kalo pendapatan mereka lebih sedikit dari ongkos benang mereka pasti tidak sanggup," ujarnya.


Karena semakin sedikitnya yang menggeluti profesi itu dan penerusnya juga hampir tidak ada akibatnya pengetahuan adat, kualitas kain dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga turut menyusut bahkan sampai hampir punah.

"Karenanya butuh strategi tepat untuk masalah ini, misalnya, dengan melibatkan orang adat untuk masuk dan mulai bergerak juga karena sepertinya sekarang semuanya boleh masuk," tuturnya.



Dia juga menekankan harus ada diskusi cukup luas dan berkelanjutan antara penenun, pasar, orang adat dan pemerintahan dengan harapan ada solusi dan strategi yang tepat.


"Saya rasa itu harus dicoba, tapi yang pertama harus dipertanyakan pada kita semua, apa ada keinginan untuk melestarikan atau tidak. Itu harus ada, jika tidak itu akan punah, karena kita tidak bisa hanya mengharapkan saja," katanya, menambahkan.



sumber : ciputranewsdotcom

Rabu, 26 Agustus 2015

Lestarikan Tenun, PNS Pemkab Buton, Sulawesi Tenggara Akan Pakai Sarung Tenun Khas Buton Tiap Kamis



Para pejabat Pemkab Buton memakai sarung tenun tradisional 
(Kurnia/detikTravel)


Sarung tenun khas Buton, Sulawesi Tenggara yang disukai wisatawan, harus dilestarikan. Untuk itu Pemkab Buton pun berencana akan mengeluarkan aturan penggunaan sarung untuk para pegawai neger sipil pada setiap hari Kamis.


"Dalam waktu dekat akan ada peraturan supaya hari Kamis pegawai negeri sipil yang melakukan pelayanan dan masyarakat yang mau menerima pelayanan itu, wajib pakai sarung," ujar Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun di sela-sela rangkaian acara Festival Budaya Tua di Pasarwajo, Buton, Senin (24/8/2015).



Ia mengatakan bahwa hal tersebut bisa membantu ekonomi masyarakat sekitar yang bekerja sebagai penenun kain sarung. Mereka pun akan lebih semangat menenun karena pesanan juga akan bisa meningkat.



Nantinya, peraturan penggunaan sarung ini berlaku di seluruh lapisan pemerintahan. "Semuanya, mulai dari Kelurahan," kata Umar.



Penggunaan sarung ini juga sudah mulai terlihat pada Festival Budaya Tua Buton. Pemerintah Kabupaten Buton, seperti Bupati, Kadisbudpar hingga peserta dan warga yang hadir di festival banyak yang menggunakan sarung tenun Buton yang berwarna-warni.



Semakin banyak orang yang sering memakai sarung tenun Buton, kain sarung pun akan tetap bersinar di era modern ini. Wisatawan yang datang ke Buton juga akan lebih familiar dengan sarung khas daerah tersebut. Mereka bisa membelinya sebagai cinderamata khas Buton.


detik

link by Aman Lase Collection

Jumat, 21 Agustus 2015

Buku Tenun dan Songket Nusantara Diterbitkan untuk Diperkenalkan ke Dunia


pict: Aman Lase Colection

Untuk memproteksi tenun dan songket hasil karya perajin tenun nusantara, Yayasan Cita Tenun Indonesia menerbitkan sebuah buku melalui penerbit Sriwijaya Pustaka Indonesia.
Buku tersebut berjudul Floating Threads: Indonesian Songket and Similar Weaving Traditions.
Okke Hatta Rajasa, Pendiri Yayasan Cita Tenun Indonesia mengatakan tujuan dari diterbitkannya buku tersebut adalah melindungi tenun.
"Melalui buku ini, kami ingin memperkenalkan kepada dunia bahwa tenun merupakan kekayaan masyarakat Indonesia. Sehingga semua orang di Indonesia dan terutama di dunia itu tahu, bahwa tenun dan songket merupakan milik masyarakat Indonesia," kata Okke ketika ditemui dalam pembukaan pekan museum tekstil 2015 di Museum Tekstil Jakarta, Petamburan Jakarta Pusat, Rabu (19/8/2015) siang. Pameran itu berlangsung Kamis (20/8/2015) sampai Senin (23/8/2015).
Menurut istri mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa ini, tenun nusantara merupakan budaya dan hasil kreativitas serta perjuangan ide dari para perajin tenun di seluruh nusantara. Ia menyebutkan, ada ciri khas tersendiri dari tenun nusantara dibandingkan dengan tenun milik negara-negara melayu seperti Malaysia.
"Tenun dan songket nusantara itu memiliki ciri khas, ciri khasnya tekniknya merupakan warisan budaya yang sudah ratusan tahun diwariskan secara turun temurun. Kemudian, semakin berkembangnya zaman, dimodernisasi dengan menambah hiasan di benang," katanya.
Ia menjelaskan, corak ragam tenun juga bermacam-macam yang terwakili oleh adat istiadat, dimana motif disesuaikan misalnya untuk bayi yang baru lahir berbeda dengan motif untuk anak sunatan.

"Bahkan kalau di Indonesia untuk tenun ciri melayu berbeda dengan melayu selain Indonesia. Misalnya untuk Palembang dan Sumatera, ciri khasnya banyak menggunakan benang emas dan silver. Ini berkaitan dengan kepercayaan yang dianut mayoritas Islam, sehingga para perajin ini hendak mengekspresikan kecintaannya kepada yang Maha Kuasa menggunakan warna-warna terbaik tersebut," kata Okke.
Sayangnya, tenun belum dipatenkan oleh badan kebudayaan dunia seperti halnya batik yang sudah tercatat sebagai kebudayaan Indonesia melalui UNESCO. Meski begitu, menurut Okke, banyak desainer dunia yang terinspirasi dari tenun asli Indonesia.
"Mereka bilang bahwa tenun itu dari Indonesia, tidak cukup di situ, masyarakat dunia harus mengakuinya. Sebagaimana teknik membatik dikukuhkan sebagai warisan dunia asal Indonesia," jelasnya.
Untuk itu, dalam buku tersebut, diperkenalkan berbagai ragam tenun dan songket asal Indonesia. Selain itu juga diperkenalkan pula teknik-teknik pembuatannya.

wartakota-tribun
link by Aman Lase Collection

Indonesia, Negara Pertama yang Rumuskan Standar Kompetensi Kerja Tenun Tradisional



Dhanny Dahlan, peragawati era 1980-an yang kini aktif di Cita Tenun Indonesia (CTI) memperkenalkan tenun tradisional muna, Sulawesi Tenggara, yang menggunakan bahan-bahan alami di Jakarta, Kamis (20/8).

Indonesia bakal menjadi negara pertama yang memiliki standardisasi kompetensi kerja tenun tradisional.  ‘’Belum pernah ada standar di negara lain,’’ kata Biranchi Upadhyay dari Hivos, sebuah organisasi yang memberi bantuan dana berbasis di Den Haag, Belanda, di Jakarta, Kamis (20/8)


Upadhyay yang banyak berhubungan dengan penenun di berbagai negara Asia dan Afrika itu mengungkap, di banyak tempat penenun kondisi nya ada yang sulit. Selain penghasilan mereka rendah, produk mereka pun  tergilas persaingan dengan tenun hasil industri.  Para penenun  tradisional, jelas dia, mengulang-ulang karya para pendahulu mereka sementara selera pasar telah berubah.


‘’Mereka tak punya akses informasi  perkembangan selera pasar, tidak punya pula akses pasar,’’  katanya di depan peserta Konvensi Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI).  Hivos bersama Uni Eropa mendanai proyek ‘Sustainable Hand Woven Eco Textiles’ bersama Cita Tenun Indonesia. Bersama mereka mengupayakan penyusunan standar kompetensi bagi tekstil dengan prinsip ramah lingkungan di Jakarta.


Ria Noviari Butarbutar, perwakilan UE di Jakarta, mengingatkan, tenun tak hanya di Indonesia. Berbagai negara di dunia memiliki tenun tradisionalnya masing-masing.   ‘’Bila Indonesia mempunyai standar tertentu, diharapkan bisa menambah daya jual dan daya saingnya,’’ kata dia di depan peserta konvensi yang sebagian besar merupakan masyarakat tenun tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.


Ria  menyebutkan proyek yang berlangsung 48 bulan, mulai Februari 2013 hingga Januari itu dilaksanakan di 20 provinsi yang meliputi 11 provinsi di Indonesia dan 9 provinsi di Filipina. Ia mengakui, progres proyek  dengan kucuran dana 2,5 juta euro – sebesar 80 persennya dari UE—cukup baik ketimbang di Filipina.


Standar kompetensi kerja tenun tradisional yang kemudian disahkan oleh pemerintah, menurut Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI) Okke Hatta Rajasa, diharapkan bisa membawa produk lokal ke tingkat global. Sebab, secara logikanya produk dari tenaga kerja yang kompeten tentunya akan sesuai dengan standar nasional. ‘’Sertifikat kompetensi untuk perajin adalah nilai jual mereka,’’ kata dia.


CTI adalah salah satu lembaga pelaksana proyek yang berperan membina perajin tenun di 3 provinsi, yakni Bali (Kabupaten Jembrana), Sulawesi Tenggara (Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kota Bau-Bau, dan Kota Kendari), Jawa Tengah (Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Klaten, Kabupaten Jepara, dan Kota Pekalongan).


Dengan adanya standar kompetensi tenun tradisional, menurut CTI, diharapkan para penenun di Jawa, Papua, atau di mana pun di Indonesia akan memiliki cara kerja yang sama dan memiliki standar keterampilan minimal yang sama.  Pembinaan penenun tradisional ini dilakukan CTI sejak 2008 dengan melibatkan para akademisi dan juga praktisi di bidang fashion Tanah Air.


Standar kompetensi kerja tenun tradisional ini, menurut Muchtar Azis dari Direktur Standardisasi Kompetensi Kementerian Tenaga Kerja, bila sudah jadi akan menjadi rujukan lembaga-lembaga pelatihan untuk merumuskan kurikulum.  Selain itu juga menjadi patokan bagi tenaga kerja untuk memenuhi prinsip kemampuan dasar.


Konvensi RSKKNI diikuti masyarakat perajin tenun tradisional dan pewarnaan alam, asosiasi, lembaga masyarakat, pemerintahan daerah dan nasional, koperasi dan retail yang terkait yang berlangsung di sebuah hotel di kawasan Blok M Jakarta, Kamis (20/8).  Acara sehari itu diharapkan menuntaskan rancangan yang sudah disusun selama 2 tahun ini untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah. Adalah pemerintah yang mengesahkan standar  kompetensi  kerja itu.

republika
link by Aman Lase Collection

Minggu, 09 Agustus 2015

Gaya Kasual Raline Shah dengan Baju Tenun



detikfFoto



Raline Shah  tampil kasual dengan baju tenunmungkin dapat menjadi inspirasi Anda. Di acara Popcon Asia 2015, bintang film 'Surga yang Tak Dirindukan' itu tampak kasual tapi tetap gaya dengan baju tenun.


Raline bergaya dengan blus hitam yang dipadu dengan outerwear tenun bernuansa merah,
celana abu-abu, dan sneakers hitam. Pool/Gus Mun/detikFoto.


detik
link by Aman Lase Collection

Kamis, 23 Juli 2015

Tenun Sutra Sengkang, Tenun Tradisional Bugis


Salah Satu Motif Lipa Sabbe

Ketika kita memasuki Kota Sengkang sebagai ibukota Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan, terlihat sebuah gapura (pintu gerbang) besar yang bertuliskan ―Selamat Datang di Sengkang Kota Sutera
Kalimat ini seolaholah dengan sadar dibuat sebagai informasi bahwa kota Sengkang sebagai merepresentasikan dirinya sebagai wilayah penghasil sarung sutra. Identitas ini memang ada benarnya karena sejak dahulu, sarung sutera Sengkang sudah terkenal sebagai sentra produksi sutra di nusantara, khususnya di Sulawesi Selatan. Namun,benarkah Sengkang kota sutera?

Pertanyaan di atas bisa ―ya, dan bisa juga ―tidak.Sebenarnya identitas Sengkang sebagai kota sutera sangat ironis. Hal ini dikarenakan ketika kita membicarakan tenun, hampir semua daerah di Sulawesi Selatan memiliki pengetahuan menenun.Bahkan, Pelras (1996) menuliskan bahwa keterampilan bertenun pada masyarakat Bugis sebagai sumber pendapatan keluarga sudah lama dikenal sejak dahulu. 
Bahkan sekitar tahun 1785, Forrest menulis: ―Penduduk Sulawesi sangat terampil menenun kain, umumnya kain kapas bergaya kambai3yang mereka ekspor ke seluruh Nusantara. Kain-kain itu bermotif kotak-kotak merah bercampur biru.Mereka juga membuat sarung sutera (Bugis: tali bennang) indah, tempat menyelipkan badik.Saat ini, produk sarung sutera kotak-kotak, kain tenun yang dihasilkan lebih bervariasi. Bahkan identitas Sengkang sebagai kota sutera merupakan kreatifitas budaya hasil kebudayaan globalisasi. 
Bahan pembuatan berupa benang berasal dari Cina yang diperoleh melalui Singapura, kemudian diproduksi secara tradisional oleh orang Sengkang, dan dijual kembali ke Hongkong.Fenomena ini merupakan ―identitas global yang yang melibatkan multi-kebudayaan terwujud dalam bentuk kain sutera.

Aktifitas menenun kain sutera di Sengkang, pada awalnya hanyalah sebuah jenis kerajinan (craft) 4 yang memproduksi ‗sarung sutera‘ dengan menggunakan alat gedogan atau biasa diistilahkan dengan ‗tenun duduk‘ (dalam bahasa lokal: tennungwalida). Menenun dengan gedogan dilakukan dengan posisi duduk dengan meluruskan kedua kaki ke depan, atau biasa juga dengan melipat salah satu kaki. 

Berbeda dengan menenun dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dilakukan dengan posisi duduk, dengan cara menginjak sepasang pedal kayu yang terdapat di bagian bawah ATBM secara silih berganti dengan kaki kiri dan kanan.Keberadaan sarung sutera tersebut, pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan busana tradisi lokal, baik ritual maupun kehidupan keseharian masyarakat Sulawesi Selatan, dimana dahulu hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan setempat dan sebagai busana adat dalam konteks ritual tradisi setempat (Mattulada, 1995). 




Dalam berbagai catatan, orang Sengkang (Bugis Wajo) dikenal sebagai penguasaha/pedagang Bugis yang melakukan ekspansi perdagangan kemana-mana. Bahkan dalam beberapa mitos tentang kelompok masyarakat Bugis Bone, Soppeng, dan Wajo (Bosowa), Bone selalu dianalogikan dengan keberanian sehingga banyak melahirkan pemimpin, Soppeng selalu dianalogikan dengan kaum intelektual, dan Wajo selalu dianalogikan sebagai kelompok Bugis yang suka berniaga sebagai penggerak kapitalisme. Salah satu penggerak yang terbesar dan terkenal dalam usaha/dagang Bugis wajo adalah kain sutera. 

Mengapa Sengkang sebagai Kota Sutera?. Sengkang merupakan sentra pengembangan tenun sutera yang dilakukan secara massif.Walaupun pengetahuan menenun menurut Pelras (1996) beranggapan bahwa orang Bugis memperoleh keterampilan menenun sutera dari orang Melayu, mengingat miripnya istilah penggulung kain (passa), dengan Bahasa Melayu pesa (bandingkan dengan misalnya istilah Jawa apit untuk benda yang sama).
Kemudian perangkat tenun model kedua mungkin diadopsi dari orang Melayu yang menetap di Bandar-bandar perdagangan pesisir barat Sulawesi Selatan pada abad ke-15. Sebenarnya pengetahuan hampir seluruh dimiliki oleh wilayah pesisir di Sulawesi karena pengaruh kebudayaan Melayu.
Hanya saja yang membedakan masyarakat di Wajo lebih banyak dan serius melakukan kegiatan menenun kain sutera.Kentalnya struktur antar lapis sosial dalam struktur masyarakat Wajo, menciptakan ketimpangan akses terhadap sumberdaya alam dan ekonomi sehingga masyarakat lapis bawah berada dalam kondisi kemiskinan dan harus menjadi klen/hamba bagi kelompok bangsawan.
Dengan keterbatasan ekonomi, maka banyak kalangan ibu-ibu harus bekerja sebagai penenun sarung sutera untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.Kebiasaan ini, kemudian menjadi citra bagi Sengkang sebagai sentra pengembangan tenun sutera. Pada periode tertentu dalam sejarah Bugis dengan kemunculan stratifikasi sosial yang digambarkan melalui epos Lagaligo yang menceritakan tentang mitos nenek moyang orang Bugis yang pada akhirnya membedakan dua jenis manusia. Pertama , mereka yang ―berdarah putih yang keturunan dewata dan kedua adalah jenis manusia yang ―berdarah  merah yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak (Pelras, 1996:196). 

Ditekankan dalam sejarah struktur masyarakat Bugis pada masa lampau bahwa stratifikasi sosial tersebut mutlak dan tidak boleh tercampur.Namun seiring dengan dinamika masyarakat Bugis di Wajo khususnya, hari ini kepercayaan tersebut sudah semakin longgar dan bahkan sudah tidak ditemukan lagi. Justru dalam bergulirnya kebudayaan Bugis yang pada umumnya yang meninggalkan bentuk stratifikasi sosial berdasarkan tiga tingkatan bangsawan (arung), to maradeka (orang bebas), ata’ (hamba) memunculkan satu bentuk status yang bersifat ascribe (pangkat, jabatan, gelar akademik), Maupun penguasaan sumberdaya ekonomi yang disimbolkan dengan gelar ‗Haji‘. 

Kecenderungan tersebut diyakini dalam masyarakat Wajo mampu mengangkat derajat dan seseorang dalam stratifikasi masyarakat.Kaum bangsawan dan kaum yang memiliki ekonomi yang mapan sebagai salah satu pucuk dari stratifikasi sosial masyarakat Wajo menampilkan identitasnya melalui beberapa simbol-simbol yang salah satunya adalah dengan sutera (meskipun belum ada penelitian yang yang mendalam, namun ditengarai beberapa motif dari sarung sutera beberapa menyimbolkan kebangsawanan dan kapital ekonomi seseorang).

Peralatan tenun yang digunakan paling awal yakni alat tenun bertumpuan belakang dengan benang lungsing bersambung berkeliling. Perlengkapannya antara lain dua batang palang penopang lunsingan dimana dibelitkan benang lungsing (sau). Salah satu penopang lungsing (penopang belakang: tandayang) ditumpukkan pada tiang dan agak dtinggikan. Palang penopang lungsing lainnya (penopang depan: api’) diikatkan kedua ujungnya pada kedua ujung sandaran punggung: talikusan, pembokoran (dari taliku, boko: punggung). Penenun duduk diantara palang penopang lungsing dan sandaran punggung dan menggunakan punggungnya untuk menahan agar benang lungsin senantiasa terentang kencang.
Perlengkapan lainnya adalah palang pemisah segi tiga (kabe atau kaberen) yang berfungsi sebagai pemisah leret benang lungsin berbilangan genap dengan leret benang tersebut.
Adapun karap (kala) memiliki banyak pesosok yang dilalui semua benang lungsin berbilangan ganjil, sehingga memungkinkan untuk menarik ke atas benang-benang itu; sedangkan kalau kerap itu tidak lagi ditarik ke atas benang ganjil itu kembali ke bawah dan membentuk segi tiga terbalik. Kemudian ada pedang (balida), semacam belebas yang digunakan memperlebar segitiga dan memudahkan masuknya pakan, kemudian untuk ―menebas dan merapatkan benang pakan yang disisipkan ke dalam segi tiga. Sedangkan palang penopang lungsin yang ada di dekat perut penenun, api, merupakan poros yang akan dikitari kain yang telah ditenun.

Dengan adanya sarung sutera menjadikan Kota Sengkang menjadikan akrab bagi semua orang terhadap kelembutan dan kehalusan tenunan sarung suteranya yangdalam Bahasa Bugis disebut dengan "sabbe". 
Proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedogan dengan berbagai macam motif yang diproduksi seperti motif "Balo Tettong" (bergaris atau tegak), motif "makkalu" (melingkar), motif "mallobang" (berkotak kosong), motif "Balo Renni" (berkotak kecil). 

Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan "Wennang Sau" (lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas. Industri pertenunan sutera merupakan kegiatan yang paling banyak di geluti oleh pelaku usaha sutera di Sengkang.Kegiatan ini dilakukan dengan menghasilkan produksi yang memiliki manfaat dan nilai estetika bagi kreatifitas budaya masyarakat Bugis Wajo. Perpaduan nilai tersebut menghasilkan kerakteristik yang tersendiri yang mencirikan produk kain sutera khususnya sarung khas Sengkang (lipa sabbe Sengkang: Sarung Sutera Sengkang). 

Dalam perkembangannya pengrajin pertenunan Sutera tidak hanya menghasilkan kain sarung tetapi sudah mampu memproduksi produk kain lain seperti kain motif tekstur dalam bentuk kain puth dan warna, maupun kain yang di tenun dengan memadukan benang Sutera dengan bahan serat lainnya sehingga memberikan banyak pilihan bagi para peminat produk sutera.

Masalah yang dihadapi dalam produksi, untuk mendukung produksi sarung sutera, suplay produksi benang sudah mengalami beberapa masalah khususnya mesin pengolah kepompong sutra menjadi benang.Mesin produksi yang dimiliki sudah tua dan aus. Di sisi lain, para petani tidak setiap saat mengembangbiakan ulat. 
Mereka justru lebih memilih menanam jagung karena harga yang diperoleh jauh lebih tinggi disbanding mengembangbiakan ulat sutra. Dalam hal produksi sarung, saat ini hanya dikelola oleh industri rumah tangga.
Hingga saat ini, belum ada industri besar yang berani untuk berinvestasi mengelola sarung sutera.Pengelolaan hanya dilakukan dalam skala keluarga dengan tenaga kerja sampai 8 orang yang dilakukan oleh ibu rumah tangga dan anak perempuan di bawah kolong rumah.Kegiatan hanya dilakukan secara subsisten pada saat waktu senggan dan dikelola secara tradisional. 

Dari sisi pemasaran, produksi sarung sutera Sengkang sangat tergantung dari permintaan pabrik-pabrik di Pekalongan.Pabrik tekstik ini sangat menentukan dan mengontrol banyaknya produksi dan harga di pasaran.Hal ini disebabkan karena pesatnya industri serta penguasaan segala aspek berkenaan dengan sutera. Pada umumnya, kain (tekstil) yang dikenal dan beredar di pasaran serta dikonsumsi oleh masyarakat adalah kain yang diproduksi oleh industri tekstil yang menggunakan mesin teknologi modern dan padat modal. 
Namun disamping kain yang diproduksi dengan teknologi modern dan padat modal itu, ada pula kain yang diproduksi dengan menggunakan teknologi tepat guna dan padat karya, yang dalam proses produksinya sebagian besar dikerjakan dengan tenaga manusia secara manual dimana para pekerjanya itu memiliki keahlian teknis khusus yang biasanya diperoleh secara informal. 

Berdasarkan penggunaan teknologi tenun, pertenunan kain (tekstil) di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: bertenun dengan menggunakan mesin, bertenun dengan menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), dan bertenunan dengan gedogan atau biasa diistilahkan dengan tenun duduk. Bertenun dengan menggunakan gedongan dilakukan dengan posisi duduk dengan meluruskan kedua kaki ke depan, atau biasa juga dengan melipat salahsatu kaki. 
Adapun bertenun dengan menggunakan ATBM dilakukan dengan posisi duduk, dengan cara menginjak sepasang pedal kayu yang terdapat di bagian bawah ATBM secara silih berganti dengan kaki kiri dan kanan. Beberapa daerah di Indonesia yang juga menghasilkan kain tenun, masyarakat lokal juga menggunakan alat gedogan dan atau ATBM dalam memproduksi kain tenun, antara lain di Pekalongan, Cirebon, Banyumas, Klaten, Lombok, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan (Soeroto, 1983). 

Produk kain tenun dari masing-masing daerah tersebut dapat dibedakan dari selain motif dan corak yang diterapkan pada kain tenunannya, juga bahan baku yang digunakan dalam proses produksinya. Bahan baku tersebut biasanya merupakan benang kapas yang menghasilkan kain tenun katun, dan benang sutera yang menghasilkan kain tenun sutera. Kedua bahan baku itu (benang kapas dan sutera) masih tetap digunakan dalam kegiatan pertenunan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. 
Pemanfaatan kain sutera sebagai bahan dasar dalam proses pembatikan memungkinkan para perajin tenun sutera tradisional – produknya biasanya lebih dikenal dengan sebutan kain sutera ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin)— mengambil peran dalam percaturan pasar pengadaan bahan dasar batik tersebut, meskipun tidak semuanya batik sutera berbahan dasar kain sutera yang ditenun manual (tradisional), karena ada juga batik sutera berbahan kain sutera pabrikan dari Cina. 

Berdasarkan penelusuran pada kedua jenis batik sutera tersebut di beberapa retailer, terdapat perbedaan harga yang cukup menyolok antara batik berbahan dasar kain sutera (pabrikan) produk Cina dengan kain tenun sutera ATBM, seperti contohnya di Pasar Tanah Abang Jakarta dan beberapa toko retailer. 
Batik berbahan dasar kain sutera ATBM ditawarkan dengan tingkatan harga jual yang berbeda-beda, tergantung dari kualitas kain suteranya, baik bagi batik tulis maupun batik cap. Di Pasar Tanah Abang Jakarta dan beberapa toko retailer batik, batik sutera berbahan dasar kain tenun sutera ATBM yang berasal dari Kabupaten Wajo, oleh para sales (penjual) disebut sebagai kain tenun sutera dari Makassar. 

Penggunaan istilah bagi kain tenun sutera ATBM dari Sengkang sebagai ‗kain tenun sutera Makassar‘5, dapat dimaknai bahwa identitas kain tenun sutera Sengkang masih diakui keberadaannya, ‗layak jual‘, dan dapat ditelusuri keberadaannya sampai pada tingkat dimana kain tersebut telah berubah wujud tampilan menjadi batik sutera. Meskipun tidak semua kain tenun sutera ATBM yang digunakan sebagai bahan dasar dalam proses pembuatan batik sutera merupakan produk para perajin tenun di Sengkang, karena beberapa sentra industri pertenunan di berbagai daerah di Indonesia juga memproduksi kain tenun sutera ATBM yaitu antara lain di Pekalongan, Cirebon, dan Sumatera Selatan. Namun kontribusi kain tenun sutera ATBM dari Kabupaten Wajo dalam hal pengadaan bahan baku untuk industri batik di beberapa kota di Jawa, jumlahnya cukup signifikan. 

Pada tahun 2008 terdapat 8.500 unit ATBM, yang tersebar di beberapa kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Wajo. Untuk menghasilkan hasil kain tenun yang baik dengan kerapatan tenunan yang relatif rata sepanjang kain yang dihasilkan kemampuan ratarata seorang perajin tenun adalah antara 2-3 meter setiap hari dengan menggunakan ATBM, bahkan banyak diantara para perajin tenun telah mampu menenun kain sampai dengan 5 meter/hari. Bahkansekitar 70 % produk kain tenun sutera ATBM dari Sengkang diperuntukkan sebagai bahan dasar dalam proses pembatikan dengan konsumen tujuan utama adalah industri-industri batik di Jawa, sedang selebihnya dipasarkan secara lokal di Sengkang dan Makassar dalam wujud berupa kain tenun sutera berwarna.

repository.unhas.ac.id

0001-6173730775_20210818_213258_0000
IMG_20211008_152953